Pasar Kembang, Nama yang Melegenda
PASAR
Kembang, inilah nama yang populer bila kita bicara perihal bisnis seks atau
dunia prostitusi di tengah-tengah “Kota Budaya” Yogyakarta.
Sejak puluhan tahun, bahkan lebih, nama Pasar Kembang telah memahatkan kesan ‘hitam
kelam’ buat Yogyakarta, kota yang tidak hanya menyandang predikat sebagai Kota
Budaya, tapi juga Kota Pelajar itu. Perubahan zaman dan perkembangan kota tidak sedikitpun
membuat nama Pasar Kembang bergeming dari predikat yang disandangnya sebagai
kawasan kelam.
Letaknya
yang berdampingan dengan Malioboro, membuat nama Pasar Kembang tidak kalah
populernya dengan Malioboro. Dan di Yogya, siapa yang tak mengenal Malioboro,
pusat kota yang menjadi kebanggaan warga kota itu. Tidak hanya
warga kota
Yogya, tapi siapapun yang pernah datang ke Yogya tentu akan memiliki kesan yang
khas dan mendalam terhadap Malioboro.
Disamping
Malioboro, siapa pula yang tidak mengenal nama Pasar Kembang? Nama Pasar
Kembang seakan sama melegendarisnya dengan Malioboro.
Rasanya tidak
berlebihan bila mengatakan, bentuk penyelewengan seks di Yogya sudah muncul
bersamaan dengan kemunculan kota
ini sekitar duaratus tahun lebih yang lalu. Akan tetapi kemunculan Pasar
Kembang sebagai kawasan khusus yang menyediakan wanita-wanita untuk komoditi
seks yang ‘pelayanan jasanya’ dihargai dengan nilai uang baru terjadi sekitar
seratus tahun lebih lalu. Ada
yang menyebut bisnis seks di kawasan ini sudah dimulai sejak 1818. Lalu, kawasan
sekitar menjadi ramai dan berkembang seiring dengan berfungsinya Stasiun Kereta
Api Tugu (Stasiun Tugu) mulai 12 Mei 1887.
Secara
kebetulan jalan di kawasan Pasar Kembang itu juga bernama Pasar Kembang.
Akan tetapi, yang disebut sebagai
kawasan Pasar Kembang, yang terletak di sebelah Barat Jl Malioboro atau di tengah-tengah
kota Yogya itu merupakan ‘perkampungan’ yang arealnya terdapat di wilayah kampung,
menjuruk ke dalam, disi selatan jalan Pasar Kembang itu.
NORMA-norma
dalam masyarakat sudah terlanjur menanamkan pandangan bahwa pelacuran merupakan
sisi kehidupan yang paling hitam. Bahkan pelacuran dipandang sebagai penyakit
sosial yang membahayakan ketenteraman dan kelangsungan hidup bermasyarakat.
Akan tetapi,
kalau kita mau jujur, siapakah yang sebenarnya mampu ‘meluluhlantakkan’ atau
menghancurkan pelacuran? Siapakah yang mampu membendung kemiskinan,
ketakberdayaan, kekecewaan, kegelisahan dan keluhan yang menyeret
perempuan-perempuan tak berdaya itu terjerembab ke dalam kubangan lumpur
pelacuran?
Komplek
lokalisasi pelacuran memang bisa ditutup, tapi aktivitas pelacuran tidak akan
pernah ada yang mampu menghentikannya.
Persoalan
pelacuran memang pelik. Namun bukan berarti hal itu boleh dibiarkan begitu
saja. Pemda Kotamadya Yogyakarta (sekarang Pemerintah Kota) bersama DPRD
setempat di tahun-tahun tujuhpuluhan sempat mengambil langkah-langkah nyata
dalam penanganan pelacuran, khususnya yang ada di kawasan Pasar Kembang.
Dengan
alasan demi menjaga citra Yogyakarta sebagai Kota Budaya dan Kota Pelajar,
langkah-langkah pun kemudian diambil untuk segera menghapus praktik pelacuran
di Pasar Kembang, sehingga diharapkan jantung kota Yogya akan bersih dari aktivitas kelam
tersebut.
Menghapus
dan menutup pintu-pintu losmen serta kamar-kamar sewaan dari bisnis seks, tentu
bukan merupakan jalan keluar yang mampu menyelesaikan permasalahan sosial
seperti itu. Untuk itu DPRD dan Pemda Kodya Yogyakarta (sekarang Pemerintah
Kota) sepakat mencari jalan pemecahan dengan menyediakan lokasi pengganti yang
jauh dari hiruk pikuk keramaian kota.
Setelah
melalui sejumlah pembicaraan, akhirnya keluarlah Surat Keputusan Walikotamadya
Yogyakarta bernomor 166/KD/1974 tentang pendirian komplek resosialisasi WTS
(Wanita Tuna Susila) yang berlokasi di Mangunan, Mrican, Umbulharjo, Yogyakarta. Lokasi resosialisasi WTS itu kemudian menjadi
populer dengan sebutan Resos “Sanggrahan”, karena letaknya yang berdekatan
dengan kampung Sanggrahan, Kotagede, Yogyakarta.
Foto: pesonajogja
Tidak ada komentar:
Posting Komentar