“Wong Kalang”
Membangun Diri dengan Budaya Bisnis
Tradisi obong "Wong Kalang" atau "Keluarga Kalang" yang kini jarang terlihat lagi. (ft: Kartini)
TIDAK semua orang Jawa tahu bila di dalam masyarakat mereka terdapat satu
kelompok masyarakat yang disebut Wong Kalang. Padahal “Wong Kalang” bukanlah
suatu kelompok eksklusif yang baru saja muncul di dalam masyarakat Jawa. Di
kalangan Wong Kalang sendiri diyakini, keberadaan mereka sudah ada sejak awal
Kerajaan Mataram. Tepatnya ketika Mataram diperintah Sultan Agung.
Tetapi ada pendapat lain yang menduga keberadaan Wong Kalang sudah ada
sebelum pengaruh Hindu masuk ke Jawa. Pendapat itu berdasar pada terdapatnya
istilah Kalang dalam prasasti Kuburan Candi di Tegalsari, Tegalharjo, Kabupaten Magelang, berangka
tahun 753 saka atau 831 masehi.
Dewasa ini keluarga atau keturunan Wong Kalang banyak terdapat di
kawasan pinggiran pegunungan selatan
Jawa Tangah, seperti di Kebumen, Purworejo,
Cilacap, dan Surakarta.
Di Kabupaten Kebumen, keluarga Kalang tersebar di Petanahan, Puring, Gombong,
Karanganyar dan Ambal. Di Cilacap, banyak terdapat di sekitar Adipala.
Sedangkan di Yogyakarta, pada zaman kolonial Belanda dulu mereka banyak
tinggal di Kotagede (Ada
juga pendapat yang mengatakan mereka sudah tinggal di tempat ini sejak zaman
Kerajaan Mataram). Kini keluarga Kalang di Yogyakarta menyebar di sejumlah wilayah.
Sisa-sisa kejayaan Wong Kalang di Kotagede (Tegalgendu dan Mondoraka) sampai
sekarang masih terdapat.
Bangunan-bangunan lama (kuno) di seputar Tegal Gendu dan Mondaraka yang
besar, bertembok tebal, dengan hiasan kaca-kaca Art Deco, dan bentuk arsitekturnya
berbeda dengan lazimnya rumah-rumah biasa orang Jawa, merupakan sisa-sisa
peninggalan keluarga Kalang. Dan, salah satu di antaranya adalah rumah besar,
mewah dan antik, di Tegal Gendu, yang terkenal dengan sebutan Omah Dhuwur.
Di kawasan pesisir utara Jawa Tengah, keluarga Kalang banyak tinggal di
Tegal, Pekalongan, Kendal, Kaliwungu, Semarang,
dan Pati. Di Jawa Timur, keluarga Kalang banyak terdapat di Bojonegoro, Surabaya, Bangil, Pasuruan, Tulungagung dan Malang.
Pembinis Ulung
Sesungguhnya secara fisik, budaya dan tatanan kehidupan Wong Kalang tidak
ada yang berbeda dengan orang Jawa pada umumnya. Dengan kata lain, Wong Kalang
tetap merupakan bagian di dalam keluarga besar suku Jawa itu sendiri.
Akan tetapi seorang peneliti Belanda, AB Meyer, di dalam “die Kalang auf Java” (1877) menyatakan, bahwa Wong Kalang termasuk golongan suku
bangsa berambut keriting dan berkulit hitam. Dan, Wong Kalang masih serumpun
atau sekeluarga dengan bangsa Negrito dari Filipina, suku Semang dari Malaya (Malaysia),
atau penduduk di Kepulauan Andaman.
Namun pendapat Meyer itu ditentang oleh sejarahwan dan peneliti Belanda
lainnya. Menurut E Ketjen, Dr H Ten Kate, dan van Rigg, Wong Kalang bukan
merupakan suku bangsa sendiri yang berbeda dan berlainan dengan Suku Jawa.
Menurut mereka, Wong Kalang merupakan orang Jawa yang tersisih oleh sistem
pegangkastaan pada masa pengaruh Hindu. Jadi, nenek moyang Wong Kalang termasuk golongan yang tidak berkasta.
Sementara di dalam buku “Orang-orang
Golongan Kalang” (1971), Soelardjo Pontjosutirto dkk, menyatakan Wong
Kalang pada mulanya merupakan kelompok yang tersisih secara sosial, yang
kemudian dipaksa tinggal di daerah-daerah pengasingan, seperti pantai yang
berpaya-paya, tepi sungai, lereng-lereng gunung-gunung, serta tanah-tanah
tandus yang belum dibuka. Karena itu mereka hidup dengan mengembara di
hutan-hutan. Perjuangan hidup yang keras membuat Wong Kalang menjadi
pekerja-pekerja keras, ulet, tangguh dan pantang menyerah.
Sejak awal Wong Kalang memang membangun dirinya dengan budaya bisnis.
Kebanyakan keluarga Kalang tak mau bekerja di lingkungan pemerintahan. Bahkan
sejak zaman Mataram dulu, ada semacam pantangan bagi mereka untuk bekerja atau
mengabdi di dalam istana. Sejak zaman Mataram Wong Kalang sudah terjun ke dunia
wirausaha. Pada awalnya mereka menjadi pengrajin, kemudian berdagang, sampai
membuka usaha-usaha jasa, dan beragam sektor usaha lainnya.
Karena kuatnya kerukunan dan kebersamaan di antara sesama Wong
Kalang, membuat usaha-usaha yang mereka
tekuni cepat berhasil. Wong Kalang pun kemudian menyandang predikat sebagai
pembisnis ulungnya orang Jawa. Di zaman kolonial Belanda dulu, bisnis-bisnis
besar di Yogyakarta banyak dijalankan oleh
keluarga Kalang. Dan, sampai kini, di kawasan selatan Jawa Tengah seperti
Kebumen sampai Cilacap, sektor perdagangan banyak dijalankan oleh keluarga
Kalang. ***
(Sutirman Eka Ardhana)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar