Serat Centhini
dan Seksualitas Jawa
SERAT Centhini merupakan karya sastra lama Jawa yang hingga hari ini
tetap menjadi rujukan, setiap kali kita ingin berbincang-bincang atau
berdiskusi tentang sejarah panjang perjalanan dan eksistensi budaya Jawa.
Ketika akan ‘membahas’ perilaku sosial dan budaya Jawa, para pakar sepertinya
tidak merasa lengkap bila tidak menyimak Serat Centhini terlebih dulu.
Hal itu dikarenakan Serat Chentini yang merupakan karya gubahan
Mangkunegaran IV pada abad 19 itu, merupakan karya sastra Jawa yang sangat
lengkap menyajikan beragam hal yang berhubungan dengan tatanan, kebutuhan,
perilaku, sikap dan budaya masyarakat Jawa.
Di zamannya, Serat Centhini termasuk dalam karya tulisan yang berani dan
mengungkap persoalan secara gamblang serta apa adanya. Menariknya lagi, penulis
atau penggubahnya adalah seorang bangsawan yang terhormat di Pura
Mangkunegaran, Solo.
Persoalan seks
yang sangat pribadi pun diungkap secara terbuka, dan tanpa basa-basi di dalam
Serat Centhini. Hebatnya lagi, persoalan seks yang diungkap tak sebatas yang
ada pada kehidupan masyarakat kecil atau rakyat jelata, tapi juga yang terjadi
di lingkungan istana atau para bangsawan di keraton Jawa.
Ketika berbicara tentang seks tradisional Jawa, Serat Centhini itu juga
telah mengungkapkan tentang ‘penyalahgunaan’ seks, dari perselingkuhan atau
skandal seks sampai ke prostitusi.
Benedict Anderson, pengamat masalah-masalah Jawa, di dalam bukunya Professional
Dreams: Reflections on Two Javanese Classics, mengakui kehebatan Serat
Centhini yang dengan berani dan apa adanya mengungkap perilaku seks di kalangan
bangsawan keraton di Jawa. Misalnya, skandal atau hubungan seks antara seorang
adipati dengan perempuan biasa dari desa.
Menyinggung soal pelacuran atau prostitusi, Serat Centhini pun
mengungkapkannya secara lugas dan terbuka. Selain mengungkapkan riwayat
munculnya pelacuran di Jawa, juga diuraikan beragam teknik bercinta para
pelacur dalam melayani dan memuaskan lelaki pasangannya.
Teknik-teknik bercinta itu tentu dimaksudkan agar para lelaki pasangannya
merasa puas dan senang berhubungan seks dengan perempuan yang menjajakan
dirinya tersebut. Diuraikan juga, dengan teknik-teknik bercinta yang
dikuasainya, perempuan yang berprofesi sebagai pelacur itu mampu melayani atau
berhubungan seks dengan lebih dari satu lelaki. Bahkan sampai beberapa lelaki.
Sejarah pelacuran di Yogyakarta juga
diungkapkan di Serat Centhini tersebut. Mungkin kita tak percaya, jika di dekat
lokasi makam raja-raja Mataram di Imogiri dulu pernah ada lokasi ‘bisnis seks’
atau tempat perempuan-perempuan menyediakan dirinya untuk jasa pelayanan seks.
Rasanya, Sri Mangkunegaran IV yang menulis Serat Centhini tidak akan mungkin
berbohong dan mengada-ada dengan menyebutkan bahwa di dekat makam-makam raja di
Imogiri itu ada tempat pelacuran.
Para pemikir atau intelektual Jawa di
zamannya dulu memang sudah menanam keyakinan bahwa seks merupakan salah satu
bagian dari budaya kehidupan manusia. Seks adalah sesuatu yang logis dan
alamiah. Sejak dulu juga, para pemikir Jawa sudah memandang dan berpendapat
bahwa seks atau seni bercinta sebagai bagian dari harmoni kehidupan manusia
yang tidak bisa ditinggalkan begitu saja.
Karena itulah banyak para pemikir atau intelektual Jawa di masa lalu yang
menulis ‘beragam pengetahuan dan persoalan’ tentang seks. Serat Centhini
merupakan salah satu di antaranya. Kemudian pemberian pemahaman tentang seks
juga terdapat di dalam Serat Gatoloco
dan Serat Dharmogandhul.
Di masa kini, kita terkadang gamang untuk berbicara tentang seks, apalagi
sampai menulisnya secara lugas, gamblang dan terbuka. Kita khawatir dituding
tak tahu diri, atau sengaja menyebarluaskan pemahaman tentang seks, yang oleh
sebagian masyarakat dipandang sebagai sesuatu yang tabu. Kenapa kita tidak
belajar atau bercermin terhadap apa yang dilakukan para pemikir Jawa di masa
lalu, misalnya kepada Sri Mangkunegaran IV yang menulis Serat Centhini, yang
sudah sejak jauh-jauh hari berpendapat bahwa persoalan seks bukanlah hanya
persoalan di dalam kamar. Tetapi seks adalah persoalan kehidupan. Persoalan
kemanusiaan. Dengan memahami seks, kita akan menghargai kehidupan. ***
Sutirman Eka Ardhana
Tidak ada komentar:
Posting Komentar