Pasar Kembang
Pernah Bersih dari Prostitusi
UNTUK mencari jalan keluar bagi persoalan
prostitusi di Kota Yogya, Pemda Kodya Yogyakarta (sekarang Pemkot Yogyakarta)
di tahun 1974 mengeluarkan Surat Keputusan Walikotamadya Yogyakarta bernomor
166/KD/1974 tentang pendirian komplek resosialisasi WTS (Wanita Tuna Susila)
yang berlokasi di Mangunan, Mrican, Umbulharjo, Yogyakarta. Karena letaknya
berdekatan dengan kampung Sanggrahan, Kotagede, tempat ini kemudian
populer dengan sebutan Resos Sanggrahan.
Seiring dengan pendirian tempat resosialisasi di
Mangunan yang diharapkan jadi tempat pembinaan, penggemblengan dan pendidikan
bagi perempuan-perempuan ‘malang’ itu, Pemda Kodya Yogyakarta kemudian menutup
semua aktivitas pelacuran di kawasan Pasar Kembang.
Seluruh WTS (sekarang populer dengan sebutan
Pekerja Seks Komersial atau PSK), mucikari, calo serta pengelola dunia hitam di
Pasar Kembang itu kemudian dipindahkan ke komplek resos Mangunan yang di
dalamnya dibangun sarana dan prasarana memadai.
Proses perpindahan itu terjadi di
sepanjan tahun 1975 dan 1976. Sedikitnya 20-an induk semang atau germo yang
selama bertahun-tahun berkubang dalam kehidupan kelam Pasar Kembang bersama
‘anak asuh’nya pindah mempertaruhkan nasib di resos Mangunan.
Sejak itu juga hanya komplek resos
Mangunan yang secara hukum dibenarkan sebagai tempat penampungan para pelacur,
dengan ketentuan di resos tersebut mereka mempersiapkan diri sebelum akhirnya
kembali dalam kehidupan normal di tengah-tengah masyarakat. Sedangkan
tempat-tempat lainnya di luar resos Mangunan, seperti Pasar Kembang dilarang
digunakan sebagai ajang prostitusi.
Dengan disediakannya komplek resos
Mangunan (Sanggrahan), apakah Pasar Kembang yang melegendaris itu kemudian
benar-benar bersih dari praktek-praktek prostitusi? Benarkah aktivitas
pelacuran yang bertahun-tahun mewarnai detak dan denyut kehidupan di tempat itu
lantas tak terdengar lagi gaung dan iramanya? Benarkah kawasan Pasar Kembang
akhirnya berubah menjadi tempat yang bersih dan noda dan mesum? Jawabnya
terlihat dari apa yang ada dan terjadi di kawasan itu sekarang ini.
Memang, Pasar Kembang semula sempat sepi
dari berbagai bentuk pelayanan seks yang dihargai dengan nilai uang. Tetapi
kondisi seperti itu tidak berlangsung lama. Pasar Kembang ternyata kembali
semarak dengan aktivitas pelacuran. Dan, penduduk atau warga ‘baik-baik’ di
pemukiman itu yang sempat menikmati betapa damai dan menyenangkan hidup jauh dari
hiruk-pikuk dunia permesuman, kembali menerima kenyataan pahit.
Hanya Dua Tahun
Tidak sampai dua tahun sejak secara
resmi ditutup Pemda Kodya Yogyakarta, Pasar Kembang kembali ke status asalnya,
yakni kawasan bisnis seks. Praktek pelacuran kembali subur. Perempuan-perempuan
yang mencoba memburu impian demi mempertahankan hidup layak kembali berdatangan
untuk menyediakan tubuhnya bagi kepuasan para lelaki pencari kenikmatan.
Penginapan atau losmen-losmen ‘kuning’
yang menyediakan kamar-kamarnya untuk perbuatan mesum, dan rumah-rumah bordil
kembali marak dan bermunculan. Dalam beberapa tahun terakhir ini, kondisi itu
semakin marak, terlebih setelah komplek resos Mangunan secara resmi ditutup
oleh Pemda Kodya Yogya di awal era reformasi beberapa tahun lalu.
Di dalam kawasan Pasar Kembang
kini terdapat sedikitnya sekitar seratus lebih PSK, 20-an mucikari dan sekitar
20-an calo. Para PSK atau pelacurnya datang dari berbagai daerah di Jawa.
Warna kehidupan di Pasar Kembang sebagai
kawasan hitam tidak hanya terlihat pada malam hari. Siang hari, bahkan sejak
pagi, boleh dibilang aktivitas pelacuran juga tampak di sini.
Di kawasan Pasar Kembang ini tidak ada
batasan waktu. Tamu-tamu boleh datang sejak mulai matahari terbit sampai larut
malam. Tidak ada aturan yang mengikat atau mengekang kebebasan para tamu.
Satu-satunya aturan yang mengikat adalah larangan para tamu membuat keributan.
Foto: kohleedjocdja (sutirman eka ardhana/bersambung)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar