Lurahing
Pacino
Kapitan Tan
Jin Sing
Pertautkan
Budaya Jawa dan Budaya Tionghoa
Oleh: Sutirman Eka Ardhana
KAPITAN Tan
Jin Sing, sebuah nama yang terpatri hingga hari ini, khususnya di dada sebagian
besar masyarakat keturunan Tionghoa di Yogyakarta dan sekitarnya. Nama ini
tidak saja sebagai lambang kebanggaan masa lalu, tetapi juga merupakan bukti
sejarah dari pengabdian masyarakat Tionghoa dalam sejarah perjalanan Kasultanan
Ngayogyakartahadiningrat.
Dan,
pengabdian masyarakat keturunan Tionghoa itu ternyata sangat besar artinya. Ini
terbukti dengan terdapatnya tiga keturunan Tionghoa di lingkungan Keraton
Yogyakarta, masing-masing Trah Secodiningrat, Trah Honggodrono, dan Trah
Kartodirjo.
Trah
Secodiningrat merupakan trah yang diturunkan oleh KRT Secodiningrat, seorang
Bupati Nayoko (setingkat menteri) di masa pemerintahan Sri Sultan Hamengku
Buwono III atau yang dikenal dengan sebutan Sultan Raja.
Siapakah
Kanjeng Raden Temenggung Secodiningrat itu? Nama bangsawan ini tidak dapat
dipisahkan dengan nama Kapitan Tan Jin Sing. Karena nama KRT Secodiningrat
merupakan nama gelar kebangsawanan Kapitan Tan Jin Sing yang diberikan Sri
Sultan Hamengku Buwono III. Dan sebagai Kapitan yang merupakan pimpinan
masyarakat Cina (Tionghoa) atau disebut Lurahing Pacino di masa itu, ia
merupakan tokoh yang telah mengawali mempertemukan budaya Jawa dengan budaya
Tionghoa.
Siapa Dia Sebenarnya?
Siapa Dia Sebenarnya?
Karena namanya
Tan Jin Sing, banyak yang mengira bahwa ia adalah seorang lelaki gagah, tampan,
bermata agak sipit dan berkulit kuning dengan rambut berkucir. Padahal dugaan
itu meleset. Tan Jin Sing seorang lelaki tampan, berwibawa, berkulit hitam
manis, dan tidak bermata sipit. Sorot matanya tajam dan bersih, seperti
bangsawan-bangsawan Jawa lainnya di masa itu.
Tan Jin Sing
memang tumbuh dan besar di lingkungan keluarga Oei The Long, seorang kaya dan
juragan gadai di Wonosobo (sekarang masuk Jawa Tengah). Meski kulit dan matanya
berbeda jauh dengan keluarga Oei The Long atau oleh masyarakat sekitar waktu
itu dikenal dengan panggilan Bah Teng Long, namun tidak banyak yang percaya
jika Tan Jin Sing sesungguhnya bukan berasal dari darah keturunan Oei The Long.
Hingga sekarang, masih ada yang meyakini jika Kapitan Tan Jin Sing yang
terkenal dan perkasa itu benar-benar berdarah Tionghoa dan putera kandung dari
juragan gadai Oei The Long.
Sesungguhnya
Tan Jin Sing keturunan asli bangsawan Jawa. Ia merupakan cicit dari Adipati
Danurejo I, patih pada pemerintahan Sri Sultan Hamengku Buwono I. Bahkan jika
ingin menelusurinya lagi ke atas, Tan Jin Sing merupakan keturunan dari Sunan
Amangkurat Agung di Mataram.
Kenapa bisa
begitu? Beginilah riwayatnya. Bupati Banyumas Raden Temenggung Yudonegoro III
yang merupakan keturunan dari Sunan Amangkurat Agung itu berputera 27 orang
dari tiga isteri dan enam orang selir. Anaknya yang ke-16 seorang puteri
bernama Raden Ayu Patrawijaya diperisteri Demang Kalibeber, Wonosobo.
Dari perkawinannya dengan Demang Kalibeber, Ray Patrawijaya memperoleh tiga orang putera. Anaknya yang bungsu seorang lelaki, diberi nama Raden Luwar.
Belum lagi Raden Luwar dewasa, ayahnya yang Demang Kalibeber meninggal dunia. Seorang kaya di Wonosobo, teman dekat Demang Kalibeber, yakni juragan gadai Oei The Long menaruh kasihan pada si kecil Raden Luwar yang sudah menjadi yatim itu. Oei The Long lalu meminta kepada RAy Patrawijaya agar diperkenankan memelihara dan membesarkan Raden Luwar.
Dari perkawinannya dengan Demang Kalibeber, Ray Patrawijaya memperoleh tiga orang putera. Anaknya yang bungsu seorang lelaki, diberi nama Raden Luwar.
Belum lagi Raden Luwar dewasa, ayahnya yang Demang Kalibeber meninggal dunia. Seorang kaya di Wonosobo, teman dekat Demang Kalibeber, yakni juragan gadai Oei The Long menaruh kasihan pada si kecil Raden Luwar yang sudah menjadi yatim itu. Oei The Long lalu meminta kepada RAy Patrawijaya agar diperkenankan memelihara dan membesarkan Raden Luwar.
Permintaan Oei
The Long dikabulkan. Raden Luwar pun lalu diangkat sebagai anak angkatnya.
Tetapi perkembangan tidak berhenti di situ. Pertautan batin antara seorang ibu
dengan anaknya ternyata tak dapat diputuskan begitu saja. Hampir tiap hari RAy
Patrawijaya selalu ingin bertemu dengan anaknya. Demikian pula halnya dengan si
kecil Raden Luwar, ia selalu bermurung diri dan menangis ingin
bersama ibunya.
Perkembangan itu membuahkan situasi yang baru pula. Karena sering bertemu, cinta pun tumbuh di hati Oei The Long dan RAy Patrawijaya. Demi perkembangan jiwa Raden Luwar, akhirnya RAy Patrawijaya menikah dengan Oei The Long secara Islam. Karena secara kebetulan, Oei The Long juga seorang Tionghoa penganut Islam.
Begitu resmi menjadi anak tirinya, Oei The Long yang anak Kapitan Oei Tiong Haw di Semarang itu lalu memberi nama Tionghoa kepada Raden Luar. Nama Tionghoa yang diberikan kepada Raden Luar itu, adalah Tan Jin Sing.
Perkembangan itu membuahkan situasi yang baru pula. Karena sering bertemu, cinta pun tumbuh di hati Oei The Long dan RAy Patrawijaya. Demi perkembangan jiwa Raden Luwar, akhirnya RAy Patrawijaya menikah dengan Oei The Long secara Islam. Karena secara kebetulan, Oei The Long juga seorang Tionghoa penganut Islam.
Begitu resmi menjadi anak tirinya, Oei The Long yang anak Kapitan Oei Tiong Haw di Semarang itu lalu memberi nama Tionghoa kepada Raden Luar. Nama Tionghoa yang diberikan kepada Raden Luar itu, adalah Tan Jin Sing.
Pindah ke Yogyakarta
Ketika
Pangeran Mangkubumi berhasil mendapat sebagian wilayah Mataram sesuai dengan
Perjanjian Giyanti dan mendirikan Kasultanan Ngayogyakartahadiningrat di tahun
1757, kemudian bergelar Sri Sultan Hamengku Buwono I, Bupati Banyumas
Yudonegoro III ditarik ke Yogyakarta. Ia lalu
diangkat sebagai Patih dan diberi gelar Kanjeng Adipati Danurejo I.
Pengangkatan
Yudonegoro III sebagai patih dikarenakan jasanya yang besar terhadap Pangeran
Mangkubumi dalam perjuangan untuk mendapatkan haknya di Mataram. Anak
Yudonegoro III yang sulung menggantikan kedudukannya sebagai Bupati Banyumas
dengan gelar Yudonegoro IV.
Kepindahan
Yudonegoro II ke pusat pemerintahan di Yogyakarta
dan memangku jabatan baru sebagai Patih, diikuti oleh sejumlah keluarganya
bahkan juga juragan Oei The Long yang menjadi menantunya itu. Sejak itulah
Raden Luwar yang sudah bernama Tan Jin Sing itu menetap di pusat Kesultanan
Yogyakarta.
Setelah dewasa
Tan Jing Sing menikah dengan salah seorang puteri Kapitan Yap Sa Ting Ho,
Kapitan Cina di Yogyakarta masa itu. Pernikahannya dengan puteri Kapitan Yap Sa
Ting Ho inilah yang membawa derajat Tan Jin Sing menjadi naik.
Sebagai menantu seorang Kapitan, Tan Jin Sing cukup disegani oleh masyarakat Tionghoa di Yogyakarta waktu itu. Terlebih lagi ia memang seorang lelaki perkasa dan memiliki kedigdayaan yang cukup tinggi. Sehingga ketika Kapitan Yap Sa Ting Ho meninggal, Tan Jin Sing lalu diangkat sebagai Kapitan atau Lurahing Pacino di Yogyakarta.
Diangkat Bupati Nayoko
Sebagai menantu seorang Kapitan, Tan Jin Sing cukup disegani oleh masyarakat Tionghoa di Yogyakarta waktu itu. Terlebih lagi ia memang seorang lelaki perkasa dan memiliki kedigdayaan yang cukup tinggi. Sehingga ketika Kapitan Yap Sa Ting Ho meninggal, Tan Jin Sing lalu diangkat sebagai Kapitan atau Lurahing Pacino di Yogyakarta.
Diangkat Bupati Nayoko
Ketika Raffles
dengan pemerintahan Inggerisnya berkuasa di Jawa (1813 – 1815) terjadi
keguncangan di Kesultanan Yogyakarta. Sri
Sultan Hamengku Buwono II menolak tunduk kepada perintah Raffles. Penolakan itu
membuat Raffles mengirim pasukannya untuk menghukum Sultan. Pasukan yang
dikirim Raffles terdiri dari pasukan India
dan Gurkha, yang oleh rakyat di Yogyakarta
ketika itu disebut sebagai pasukan Sepehi.
Sementara
ketika itu di dalam keraton terjadi perselisihan antara Sri Sultan Hamengku
Buwono II dengan putera mahkotanya yang bernama Sultan Raja. Perselisihan itu
dimanfaatkan oleh Raffles untuk menyingkirkan Sri Sultan Hamengku Buwono II
dari tahta singgasananya. Akibatnya di Yogyakarta waktu itu terjadi peristiwa
berdarah yang diebut “Geger Sepehi”.
Perselisihan
antara ayah dan anak itu berlanjut dengan kontak senjata antara
prajurit-prajurit pengikut Putera Mahkota dengan prajurit-prajurit yang setia
kepada Sri Sultan Hamengku Biwono II atau dikenal juga dengan sebutan Sultan
Sepuh. Dalam perang saudara itu Kapitan Tan Jin Sing berpihak kepada Sultan
Raja dengan memberikan bantuan berupa segala kebutuhan perang sampai kebutuhan
bahan makanan.
Ketika Sultan
Sepuh berhasil diasingkan Raffles ke Pulau Pinang (Malaysia), Sultan Raja naik tahta
dan bergelar Sri Sultan Hamengku Buwono III. Naiknya Sultan Raja sebagai
Sultan, derajat Tan Jin Sing pun terus menaik. Sri Sultan yang merasa berhutang
budi kepada Kapitan Tan Jin Sing atas bantuan dan peranannya yang besar, lalu
mengangkatnya sebagai seorang Bupati Nayoko di Keraton Yogyakarta
dan diberi nama Raden Temenggung Secodiningrat.
Selain
mendapat kedudukan sebagai Bupati
Nayoko, ia pun
mendapat tunjangan dari Sri Sultan sebesar 1000 ringgit setiap bulannya. Dalam
keputusan Sri Sultan Hamengku Buwono III saat itu disebutkan bahwa tunjangan
jabatan itu diberikan turun temurun, asal yang menjadi raja masih berdarah
Sultan Raja.
Sri Sultan
juga memberikan hadiah tanah kepada Kapitan Tan Jin Sing. Tanah yang
dihadiahkan itu terletak di Desa Padokan, Bantul, di samping wilayah tertentu
di dalam pusat kota
yang berada di bawah pengawasannya. Wilayah yang berada di bawah pengawasan
Kapitan Tan Jin Sing yang sudah bergelar KRT Secodiningrat itu disebut tlatah
atau Bumi Secodiningrat. Wilayah pengawasannya meliputi Pajeksan, Pecinan
(Malioboro), Gondomanan dan lainnya.
Kemudian
setiap anak lelaki dari keturunan KRT Secodiningrat diberi hak untuk
mendapatkan gelar Raden, dan bila anak sulung lelaki diharuskan mempergunakan
nama kebangsawanan Jawa. Sedang setiap anak perempuan dari keturunannya berhak
menggunakan gelar Raden Roro, dan bila menikah dengan seorang bangsawan
memperoleh gelar Raden Nganten.
Trah Secodiningrat
Semasa
hidupnya KRT Secodiningrat atau Kapitan Tan Jin Sing (1760-1831) mempunyai tiga
isteri, isteri pertama berdarah Tionghoa Peranakan dengan sebutan Nyonya
Kapitan. Isteri kedua, perempuan Jawa bergelar Mas Ajeng Secodiningrat Sedang
isteri ketiganya juga seorang perempuan yang dipanggil dengan sebutan Raden
Nganten Secodiningrat.
Dari kedua orang
isteri itulah kemudian keturunan KRT Secodiningrat terus berkembang hingga hari
ini. Ketika meninggal dunia, ia dimakamkan di Desa Padokan, Bantul.
Kedudukannya sebagai Bupati Nayoko kemudian digantikan oleh putera sulungnya
dari isteri anak Kapitan Yap Sa Ting Ho, yang kemudian bergelar KRT
Secodiningrat II.
Dikarenakan
mempunyai dua orang isteri yang berbeda darah keturunannya, berdarah Tionghoa
dan Jawa, hingga hari ini keturunan Secodiningrat yang tersebar di berbagai
kota terdiri dari dua kelompok budaya, yakni kelompok budaya Tionghoa dan
kelompok budaya Jawa.
Meskipun
secara sepintas terlihat adanya perbedaan latar belakang budaya di antara dua kelompok
keturunan Secodiningrat ini, namun pada dasarnya mereka tetap satu, yaitu
keluarga besar KRT Secodiningrat, dan bersatu di dalam wadah Trah
Secodiningrat.
Jumlah anggota
Trah Secodiningrat cukup banyak, dan tersebar di berbagai kota, terutama di Jawa. Untuk mengikat tali
hubungan satu sama lain, dulu setiap bulan sekali anggota trah ini selalu
bertemu. Dan, bila Hari Raya Idul Fitri tiba, sudah dapat dipastikan semua
keluarga besar Trah Secodiningrat berkumpul mengadakan syawalan bersama.
Pertemuan syawalan bersama itu tidak saja dihadiri oleh anggota trah yang
beragama Islam, tetapi juga dihadiri anggota trah yang beragama lainnya,
seperti Katholik, Kristen, dan Buddha.
Ini merupakan
bukti bahwa keturunan KRT Secodiningrat atau Kapitan Tan Jing Sing hingga hari
ini masih tetap menjaga warisan yang teramat mahal dan berharga yakni perpaduan
budaya Jawa dan budaya Tionghoa, yang sekaligus menjaga kokohnya persatuan dan
kesatuan bangsa.
KRT
Secodiningrat atau Kapitan Tan Jin Sing meninggal dunia pada 10 Mei 1831, dan
dimakamkan secara Islam. Kemudian kedudukannya sebagai Bupati Nayoko dan
sekaligus Kapitan Cina digantikan oleh puteranya, Raden Dadang, yang bergelar
Raden Temenggung Secodiningrat II.
Makam Kapitan
Tan Jin Sing dan isteri-isterinya terdapat di kompleks makam Ragacala, kawasan Gunung Sempu, Kasongan, Bantul. ***
Selamat malam, kalau boleh tahu nomer kontak paguyuban Secodiningrat ini siapa dan di nomer berapa ya? Menurut Eyang Kakung dan Putri saya, kami masih keturunan dari trah Secodiningrat.
BalasHapusMatur nuwun atas bantuannya. -h-
Heru Danardatu
Mas Danartu tasih nyimak mboten njih. Suwun
Hapusassalamualaikum,
BalasHapusboleh kita berkomunikasi lebih lanjut..?
saya bermarga Tan yag sedang mencoba "metani" silsilah ke atas keluaga saya...
ini no WA saya
0897 025 8182
Kenalkan saia Sumardiono Brotosumarto, saia keturunan Honggodrono, salah satu putera Tan Jing Sing atau KRT Secodiningrat. Jika berkenan saia ingin komunikasi soal moyang / silsilah / trah. Terimakasih Sebelumnya
BalasHapusWA 0818774488