MK: PERS INDONESIA – AKDEMI KOMUNIKASI YOGYAKARTA
PERTEMUAN KE-6
SISTEM PERS PANCASILA
(2)
DENGAN munculnya
sistem Pers Pancasila itu, pers Indonesia yang masih trauma dengan kebijakan
pemerintah setelah peristiwa Malari 1974 seakan telah menemukan semangat,
gairah dan ‘darah’ baru. Sebab dengan sistem Pers Pancasila itu telah ditemukan
garis pijakan yang tepat bagi pers nasional dalam melaksanakan kerja
jurnalistiknya tanpa dihantui kekhawatiran bahwa langkah-langkahnya akan
berseberangan dengan kebijakan-kebijakan pemerintah. Pemerintah sendiripun
tampak memberikan dorongan yang nyata dalam menyebarluaskan sistem Pers
Pancasila tersebut.
Keberadaan
sistem Pers Pancasila semakin diperkuat dan dipertegas dengan hasil rumusan
Dewan Pers dalam sidang plenonya ke-25 yang berlangsung pada tanggal 7 dan 8
Desember 1984 di Solo. Rumusan Dewan Pers itu semakin mempertegas dan
memperjelas identitas tentang apa dan bagaimana sesungguhnya Pers Pancasila
itu.
Di dalam rumusan
Dewan Pers itu disebutkan:
-
Pers Indonesia
adalah Pers Pancasila, dalam arti pers yang orientasi, sikap
Dan tingkahlakunya
berdasarkan pada nilai-nilai Pancasila dan Undang-undang Dasar 1945.
-
Pers
Pembangunan adalah Pers Pancasila dalam arti mengamalkan Pancasila
dan Undang-undang Dasar 1945 dalam pembangunan berbagai aspek kehidupan
bermasyarakat, berbangsa dan bernegara, termasuk pembangunan pers itu sendiri.
-
Hakekat Pers
Pancasila adalah pers yang sehat yakni pers yang bebas dan bertanggungjawab
dalam menjalankan fungsinya sebagai penyebar informasi yang benar dan obyektif,
penyalur aspirasi rakyat dan kontrol sosial yang konstruktif.
-
Melalui hakekat
dan fungsi itu, Pers Pancasila mengembangkan suasana saling percaya menuju
masyarakat terbuka yang demokratis dan bertanggungjawab.
-
Dalam
mengamalkan Pers Pancasila, mekanisme yang dipakai adalah interaksi positif
antara masyarakat, pers dan pemerintah. Dalam hal ini, Dewan Pers berperan
sebagai pengembang mekanisme tersebut.
Penjelasan lebih
mendalam mengenai Pers Pancasila yang dirumuskan Dewan Pers itu telah menjadi
topik bahasan utama dalam seminar tentang upaya pemantapan kedudukan dan
peranan Pers Pancasila yang berlangsung tanggal 19 sampai 21 Februari 1985 di
Solo.
Seminar yang
diselenggarakan Departemen Penerangan bersama Persatuan Wartawan Indonesia
(PWI) itu antaralain telah merumuskan bahwa Pers Indonesia menganut pandangan
hidup Pancasila sebagai landasan pola pikir, pola sikap dan pola perilaku dalam
melaksanakan atau mengaktualkan peran dan kedudukannya sebagai salah satu
lembaga kemasyarakatan di Indonesia. Kemudian demi menunjang keberhasilan
tugasnya, Pers Pancasila berpegang pada kebebasan yang bertanggungjawab dalam
menjalankan fungsinya sebagai penyebar informasi yang benar dan obyektif,
penyalur aspirasi masyarakat, penggerak motivasi masyarakat serta pengawas
sosial yang konstruktif.
Disebutkan juga
dalam rumusan hasil seminar di Solo itu bahwa aktualisasi peran Pers Pancasila
dimungkinkan apabila semua pihak yang terlibat dalam interaksi positif, yakni
pers, pemerintah dan masyarakat ikut membina kondisi kerukunan, saling percaya
mempercayai, berpandangan luas, saling menghormati dan kejujuran.
Sejumlah pakar
telah pula memberikan penambahan dan penajaman terhadap bagaimana sesungguhnya
sikap dan perilaku Pers Pancasila. Prof. Dr Selo Soemardjan misalnya, dalam
salah satu makalah seminarnya tentang Pers Pancasila di Yogyakarta pada
Februari 1986 antaralain menyatakan ada tiga hal yang harus dilakukan oleh Pers
Pancasila dalam mengaktualisasikan peran dan fungsinya.
Pertama, pers
itu untuk memenuhi warnanya Pancasila, dapat memilih sumber-sumber berita yang
sesuai dengan filsafatnya itu. Jadi sumber berita dipilih yang cocok dengan
filsafat yang dianut. Kalau tahu sumber berita itu cocok dengan filsafatnya,
diambil secara positif kemudian disebarkan. Bisa juga diambil sumber berita
lain yang anti Pancasila. Dalam hal ini, diambil beritanya, tapi kemudian harus
dikomentari bahwa itu adalah dari sumber yang anti Pancasila.
Kedua, pers itu
bisa memilih berita-berita yang sesuai dengan ideologi atau dengan filsafat
Pancasila. Diambil beritanya, bukan sumbernya saja. Sebab meskipun sumbernya
berwarna Pancasila, berita yang timbul dari padanya mungkin tidak sesuai dengan
Pancasila. Karena itu, berita yang digali itu harus diolah terlebih dahulu,
atau entah diproses dahulu sehingga cocok dengan Pancasila.
Ketiga, dalam
menunaikan tugas sebagai Pers Pancasila dalam negara yang ber-Pancasila, maka
pers harus mampu mengolah dan kemudian menyajikan berita-berita itu sedemikian
rupa sehingga effeknya kepada masyarakat umum atau kepada para pembaca itu
selaras, seimbang dan serasi dengan Pancasila.
Sejak sistem
Pers Pancasila dipertegas eksistensinya oleh Dewan Pers dalam sidang pleno Desember
1984 itu, maka pemahaman mengenai Pers Pancasila semakin memasyarakat dan
menjiwai perjalanan serta perkembangan pers Indonesia. Akan tetapi, meskipun
kemudian Pers Pancasila dapat memasyarakat dan menjiwai ‘roh’ pers Indonesia,
namun pada kenyataan dan realita pelaksanaannya ternyata tidaklah seirama atau
sesuai dengan hakekat nilai-nilai serta semangat Pers Pancasila itu sendiri.
Peran pemerintah
terasa begitu besar dan kuat dalam menggiring pers nasional untuk membatasi
diri dalam memilih pengertian mengenai hakekat Pers Pancasila yang dinyatakan
sebagai pers yang bebas dan bertanggungjawab. Pers nasional seakan digiring dan
dipaksa untuk tidak memiliki kemampuan dan keberanian menentukan pilihan yang
tepat mengenai pengertian pers yang bebas dan bertanggungjawab tersebut.
Pers nasional
dibawa dan digiring ke posisi untuk senantiasa berpegang teguh pada pemahaman
dan pengertian pers yang bebas dan bertanggungjawab dari sudut pandang atau
kacamata pemerintah. Dan, rumusan Dewan Pers yang menyebutkan bahwa dalam
mengamalkan Pers Pancasila mekanisme yang dipakai adalah interaksi antara
masyarakat, pers dan pemerintah, telah dijadikan senjata, alat atau dalih yang
kuat oleh pemerintah untuk ‘memaksa’ pers agar tidak mencari pengertian lain
mengenai “pers bebas dan bertanggungjawab” itu selain dari pemahaman serta
pengertian yang digunakan maupun disebarluaskan pemerintah.
Kondisi seperti
ini berlangsung terus dari tahun ke tahun, sampai akhirnya era reformasi datang
dan menyingkirkan kekuasaan Orde Baru yang berkuasa selama 32 tahun lebih.
Meskipun demikian, dalam kondisi tak berdaya seperti itu masih juga terdapat
beberapa media pers yang mencoba ‘bersuara lantang’ dan berusaha membangunkan
kembali semangat serta idealisme pers sesungguhnya. Akan tetapi ‘tangan-tangan’
pemerintah masih terlalu keras dan kuat untuk dilawan. Pemerintah masih merasa
risih dengan keberanian-keberanian yang dicoba untuk dibangkitkan kembali itu.
Akibatnya, pembreidelan atau pencabutan Surat Izin Usaha Penerbitan Pers
(SIUPP) kembali terjadi. Peristiwa ini terjadi pada bulan Juni 1994 menimpa
tiga media pers, yaitu majalah berita Tempo,
Editor dan tabloid Detik.
Berakhirnya kekuasaan Orde Baru yang ditandai dengan pengunduran diri
Presiden Soeharto dari jabatannya sebagai Presiden Republik Indonesia pada
tanggal 21 Mei 1998 dan kemudian digantikan oleh BJ Habibie yang sebelumnya
adalah Wakil Presiden, telah membawa suasana, nuansa dan iklim baru bagi
perjalanan serta perkembangan pers nasional.
Datangnya era
reformasi telah membangunkan kesadaran bari
bagi pers nasional untuk kembali menemukan jatidirinya sebagai penyebar
informasi yang benar dan obyektif, penyalur aspirasi rakyat dan kontrol sosial
yang konstruktif. Pers nasional yang sebelumnya seakan tidak memiliki kemampuan
dan tak berdaya untuk melepaskan diri dari pengaruh serta campurtangan
pemerintah yang kuat, mendadak menggeliat dan bangkit dari ketidakberdayaannya.
Pers mendapatkan angin yang segar. Angin kebebasan, angin kemerdekaan pers.
Seiring dengan
itu, pemerintah yang tanggap dengan semangat dan angin reformasi yang bertiup
kencang dalam waktu relatif singkat serta cepat melakukan langkah-langkah
penyeimbangan. Pemerintah melalui Departemen Penerangan yang sebelumnya oleh
kalangan pers selama bertahun-tahun dipandang sebagai instansi ‘garang’ dengan
cepat mengambil kebijakan-kebijakan berani, melakukan reformasi di bidang
peraturan-peraturan yang berkaitan dengan pers.
Reformasi di
bidang peraturan mengenai pers itu di antaranya meninjau kembali Peraturan
Menteri Penerangan RI Nomor 01/Per/Men/1984 tentang Surat Izin Usaha Penerbitan
Pers (SIUPP) dengan mengeluarkan peraturan baru yakni Peraturan Menteri
Penerangan RI Nomor 01/Per/Menpen/1998 tentang ketentuan-ketentuan Surat Izin
Usaha Penerbitan Pers (SIUPP). Permenpen baru yang ditandatangani Menteri
Penerangan Muhammad Yunus Yosfiah itu telah membuka pintu kemudahan
selebar-lebarnya dalam proses perolehan SIUPP.
Di era
reformasi, terlebih lagi setelah Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 Tentang Pers
disahkan oleh Presiden BJ Habibie pada 23 September 1999, angin segar kebebasan
dan kemerdekaan pers terasa meniup begitu kencang. Pers Pancasila yang selama
bertahun-tahun berada dalam jaring pengertian dan kekuasaan pemerintah, telah
menemukan nuansa dan semangat baru. Nuansa demokrasi dan kemerdekaan pers
membuat wajah pers nasional secara tiba-tiba berubah drastis dan cepat. +++
(Sutirman
Eka Ardhana)
Daftar Pustaka
1.
Denis McQuail, Teori Komunikasi Massa (terjemahan),
Erlangga, Jakarta,
1989.
2. Frederick S. Siebert, Theodore Peterson dan Wilbur
Schramm, Four
Theories
of The Press, Urbana: University of Illinois
Press, 1957.
3.
Dedy
Djamaluddin Malik, Jalaluddin Rakhmat dan Mohammad Shoelhi
(ed), Komunikasi
Internasional, LP3K – PT Remaja Rosdakarya,
Bandung,
1993.
4. Edward C. Smith, Pembreidelan Pers Indonesia, terjemahan
Atmakusumah, Alex A Rahim dan Arie Wikdjo Broto, Pustaka Grafitipers, Jakarta, 1983.
5. Tribuana Said dan
DS Moeljanto, Perlawanan Pers Indonesia
BPS
Terhadap Gerakan PKI, Sinar Harapan, Jakarta,
1983.
6. Tribuana Said, Sejarah Pers Nasional dan Perkembangan Pers Indonesia,
1988.
7.
Amanat Sejarah – Dari Pekik
Merdeka Hingga Suara Hati Nurani Rakyat, Kedaulatan Rakyat, Yogyakarta, 1996.
8.
Prof Dr Selo Sumardjan, Pers Dalam
Negara Pancasila, makalah Seminar Hari Pers Nasional II, Februari 1986 di Yogyakarta.