Yogya, Awalnya Tempat Pemberhentian
Jenazah
KEBERADAAN Yogyakarta sekarang ini sesungguhnya tidak bisa
dilepaskan dengan peristiwa yang terjadi di bulan Februari 1755. Karena di
bulan Februari tahun itu, tepatnya 13 Februari 1755, berlangsung “Perjanjian Giyanti”. Berdasar pada Perjanjian
Giyanti itulah kemudian berdiri Kesultanan Ngayogyakarta Hadiningrat, dan
terbangun pulalah kota yang kemudian dikenal
dengan nama Yogyakarta.
Sekitar tahun 1700-an, sebuah perkampungan kecil telah
muncul di hutan Beringan. Oleh para pujangga terdahulu, perkampungan kecil di
hutan Beringan itu digambarkan sangat indah, sejuk, tenang dan damai. Karena
keindahan dan kesejukannya, ketika Mataram diperintah Sri Susuhunan Amangkurat
I, perkampungan kecil itu menjadi tempat peristirahatan para bangsawan Mataram.
Sri Susuhunan Amangkurat sangat senang beristirahat di
kampung kecil itu sambil berburu di hutan Beringan. Bahkan bila sudah
beristirahat, Susuhunan Amangkurat bisa menghabiskan waktunya sampai
berhari-hari. Untuk keperluan peristirahatan Sri Susuhunan Amangkurat I
tersebut maka di kampung kecil itu pun dibangun sebuah pesanggrahan yang diberi
nama Pesanggrahan Garjitowati.
Tetapi ketika Sri Susuhunan Paku Buwono II berkuasa di
Mataram dengan ibukota di Kartasura, nama Pesanggrahan Garjitowati diganti
Pesanggrahan Ngayogya. Tidak ada data atau informasi yang mengungkapkan alasan
penggantian nama pesanggarahan itu. Sejak pesanggrahan tempat peristirahatan
Sri Susuhunan Amangkurat tersebut berganti nama Pesanggrahan Ngayogya, maka
kampung kecil itu pun menjadi populer dengan sebutan Ngayogya
Di masa pemerintahan Susuhunan Paku Buwono II, fungsi
perkampungan kecil di hutan Beringan yang sudah populer dengan sebutan Ngayogya
itu menjadi berubah. Bila sebelumnya sebagai tempat peristirahatan, di masa
Susuhunan Paku Buwono II telah berubah menjadi tempat pemberhetian layon-layon (jenazah) para bangsawan Mataram, sebelum
kemudian dimakamkan di Imogiri.
Berkat
Perjanjian Giyanti
Ketika perjuangan atau perlawanan Pangeran Mangkubumi
terhadap pemerintahan Mataram yang ketika itu sangat didominasi pengaruh
kekuasaan VOC (Vereenigde Oost Indisch
Compagnie) Belanda mencapai hasilnya
di tahun 1755, kampung kecil Ngayogya pun mengukir sejarah baru. Ngayogya yang
semula perkampungan kecil tempat peristirahatan, kemudian berganti menjadi kota tempat persinggahan
jenazah, telah berubah menjadi ibukota sebuah kerajaan.
Perlawanan Pangeran Mangkubumi yang merupakan salah
seorang putera Sri Susuhunan Paku Buwono I itu bermula dari perasaan kecewanya
melihat semakin besarnya pengaruh dan cengkeraman kekuasaan VOC Belanda di dalam wilayah kekuasaan
Mataram.
Pada awalnya Pangeran Mangkubumi sempat kecewa dengan
ulah VOC yang menekan Sri Susuhunan Paku Buwono II untuk membatalkan pemberian
hadiah tanah di daerah Sukowati kepadanya. Pangeran Mangkubumi sadar bahwa
dirinya merupakan salah seorang pangeran Mataram yang sepakterjangnya memang
tidak disukai VOC. Karena VOC memandang Pangeran Mangkubumi merupakan salah
satu penghalang mereka dalam memperluas cengkeraman kekuasaan di wilayah
Mataram. Langkah VOC menekan Sri Susuhunan Paku Buwono II untuk membatalkan
pemberian hadian Tanah Sukowati itu merupakan salah satu cara membendung
ancaman yang mungkin datang dari Pangeran Mangkubumi.
Semula ia masih berusaha untuk menahan diri, tapi dari
hari ke hari ulah VOC Belanda dalam mencekeramkan kekuasaan dan pengaruhnya di
Mataram semakin merajalela.
Di dalam buku Kota
Jogjakarta 200 Tahun , (1956), disebutkan salah satu dorongan lainnya yang
menyebabkan Pangeran Mangkubumi dan pengikut-pengikutnya merasa tidak tahan
lagi melihat berkembang dan meluasnya kekuasaan VOC, adalah perjanjian yang
dibubuhi tandatangan oleh Sri Susuhunan Paku Buwono II pada tanggal 18 Mei
1746. Dalam perjanjian itu antaralain disebutkan bahwa: Pulau Madura
seluruhnya, dan pesisir Utara, sejak itu menjadi milik VOC yang absah. Dengan
kata lain, tidak lagi menjadi daerah Mataram. Disamping itu Sri Susuhunan bersedia akan memberikan bantuan sekuat
tenaga, bila diminta oleh VOC untuk menindas segala anasir-anasir yang bisa
merugikan VOC.
Perlawanan Pangeran Mangkubumi tidak sia-sia. VOC yang
sudah kewalahan kemudian mengusulkan kepada Sri Susuhunan Paku Buwono II untuk
untuk berunding dan berdamai dengan Pangeran Mangkubumi. Perdamaian pun
dilakukan, dan pada 13 Februari 1755 ditandatanganilah “Perjanjian Giyanti”
atau “Palihan Nagari”. Perjanjian yang dibuat di desa Giyanti dekat Salatiga
itu, telah membagi wilayah Kerajaan Mataram menjadi dua bagian. Separuhnya
tetap di bawah kekuasaan Sri Susuhunan Paku Buwono II, dan separuhnya lagi
berada di bawah kekuasaan Pangeran Mangkubumi yang kemudian bergelar Sri Sultan
Hamengku Buwono I.
Pada 13 Maret 1755 Sri Sultan Hamengku Buwono I menyatakan
ke rakyat bahwa wilayah di bawah kekuasaannya bernama Kerajaan
Ngayogyakarta-Adiningrat. Kampung kecil Ngayogya kemudian dipilih sebagai ibu kota kerajaan. Ngayogya
pun kemudian dibangun bersamaan dengan pembangunan Keraton. Setelah sebagian
bangunan keraton selesai dibangun, pada Kamis 7 Oktober 1756 Sri Sultan
Hamengku Buwono I dan jajaran kerajaan mulai menempati keraton. Dan, tanggal 7
Oktober 1756 itu pulalah ditetapkan sebagai hari kelahiran Kota Yogyakarta.
(Sutirman
Eka Ardhana)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar