PERTEMUAN
2
SISTEM PERS INDONESIA
1.
Sistem Pers Dunia
DALAM
sejarah perjalanan pers dunia, sejak pertama kali diperkenalkan oleh Kaisar
Romawi Julius Caesar melalui media Acta
Diurna, disusul munculnya koran pertama di Jerman Avisa Relation oder Zeitung pada tahun 1690 hingga sampai hari ini
secara umum dikenal empat sistem pers. Keempat sistem pers yang dikenal luas
oleh masyarakat dunia itu terdiri: pers otoriter atau otoritarian (authoritarian press), pers liberal (libertarian press), pers komunis –
Soviet (Soviet Communist press) dan pers tanggungjawab sosial (social responsibility press).
Pers otoriter merupakan sistem pers
yang tertua. Dalam sistem pers otoriter ini, media pers sama sekali tidak
memiliki kebebasan bersikap karena senantiasa berada dalam kungkungan atau
belenggu kekuasaan. Peran pemerintah atau penguasa sangat besar, kuat dan
dominan dalam perkembangan serta kelangsungan kehidupan pers. Dengan kata lain,
pers sama sekali tidak memiliki kekuatan atau kemampuan untuk mandiri,
melainkan benar-benar tunduk dan patuh pada segala keinginan, kebijakan,
ketentuan-ketentuan maupun aturan yang datang dari penguasa. Pemerintah atau
penguasa bisa menggunakan bermacam-macam dalih dalam mengatur dan mengawasi
pers, di antaranya dalih demi menjaga stabilitas dan keamanan negara.
Pers liberal merupakan sistem pers
yang mengedepankan kebebasan media pers dalam menyampaikan pemberitaannya tanpa
memiliki keterikatan dengan pengaruh dan ancaman rezim penguasa. Sistem pers
ini sangat bertolakbelakang dengan pers otoriter.
Dalam sisten pers liberal ini,
pemerintah atau penguasa tidak mempunyai peluang untuk ‘campurtangan’
menggunakan media pers sebagai alat penekan maupun penguat kekuasaan. Di dalam
sistem ini, tidak dikenal istilah lembaga sensor. Dengan tidak adanya lembaga
sensor, maka pemerintah atau penguasa tidak lagi mempunyai kemampuan untuk
mengendalikan serta mengontrol ke mana serta bagaimana arah pemberitaan media
pers.
Pers komunis merupakan sistem pers
yang berkembang dan dianut di negara-negara berideologi komunis, terutama di
negara-negara yang dulu tergabung dalam Uni Soviet. Di dalam sistem pers ini,
media pers mempunyai kewajiban untuk mematuhi atau tunduk pada semua langkah
dan kebijakan partai (partai komunis) sebagai pengendali serta pemegang kekuasaan
negara.
Sedangkan pers tanggungjawab sosial
merupakan perkembangan dari sistem pers liberal yang dipandang memiliki
kebebasan tanpa batas. Sistem pers ltanggungjawab sosial merupakan pilihan
jalan keluar dari kekhawatiran bahwa pers liberal memiliki kebebasan yang tidak
jarang mengancam berbagai kepentingan di dalam kehidupan masyarakat.
William A. Hachten misalnya, telah
mengemukakan adanya lima sistem atau lima konsep pers. Kelima
konsep pers itu: konsep otoritarian, konsep Barat, konsep Komunis, konsep
revolusioner dan konsep pembangunan.
Dewasa ini pers Indonesia tidak berpedoman dan
tidak menggunakan secara terbuka satu pun dari sistem-sistem pers yang diakui
masyarakat pers internasional itu. Karena sejak era Orde Baru lalu, pers di Indonesia
telah menggunakan sistem Pers Pancasila.
Sejarah peradaban pers di Indonesia dimulai pada tahun 1744 ketika
suratkabar pertama terbit di Hindia Belanda (Indonesia)
bernama Batavia
Nouvelles. Suratkabar ini terbit di Batavia
(sekarang Jakarta)
yang waktu itu juga sudah menjadi pusat pemerintahan atau kekuasaan Belanda di
Hindia Belanda. Meskipun demikian, periodesasi perjalanan pers di Indonesia
baru dapat dimulai dari tahun 1907 yang ditandai dengan terbitnya koran Medan Prijaji. Koran Medan Prijaji ini diterbitkan oleh RM
Tirtohadisuryo di Bandung, dengan demikian koran ini merupakan media pers
pertama di tanah Hindia Belanda yang diterbitkan atau dimiliki oleh pribumi Indonesia.
Karena koran Medan Prijaji tercatat sebagai media pers pertama yang menyuarakan
semangat nasionalisme dan kebangsaan Indonesia di tengah-tengah kekuasaan
penjajahan Belanda itu, maka sejak tahun 1907 hingga 1945 disebut sebagai
periode Pers Kebangsaan atau Pers Perjuangan. Kemudian periode Pers Kemerdekaan
berlangsung sejak tahun 1945 hingga 1950. Disusul periode Pers Liberal
sepanjang tahun 1950 sampai 1958, lalu dilanjutkan dengan periode Pers
Manipol/Demokrasi Terpimpin yang berlangsung sejak 1958 sampai 1966, dan
periode Pers Pembangunan (versi Indonesia) yang kemudian berkembang menjadi
Pers Pancasila. Periode ini berlangsung dari 1966 sampai sekarang.
2.
Sistem Pers Kebangsaan
Pers Kebangsaan atau Pers Perjuangan
yang muncul sejak tahun 1907 hingga 1945
itu mempunyai dinamika dan liku-liku perjalanan yang menarik untuk disimak.
Sejak tahun 1907 itulah Pers Kebangsaan berusahaan sekuat daya dan tenaga untuk
meletakkan eksistensi dan keberadaannya di tengah-tengah cengkeraman kekuasaan
penjajahan. Baik penjajahan kolonial Belanda maupun pendidikan balatentara
Jepang.
Media Pers Kebangsaan yang muncul
hampir bersamaan dengan kelahiran organisasi-organisasi pergerakan kebangsaan
di masa itu tidak hanya sekadar tampil sebagai media pers penyampai informasi,
tetapi juga telah berubah bentuk menjadi salah satu alat perjuangan guna
mencapai cita-cita mulia kemerdekaan bagi segenap bangsa Indonesia. Pers bersama
kekuatan-kekuatan pergerakan kebangsaan lainnya saling bahu-membahu
menggelorakan semangat kebangsaan mewujudkan Indonesia Raya yang terbebas dari
cengkeraman tangan-tangan penjajahan.
3.
Pers Liberal di Indonesia
Setelah kembali menjadi negara
kesatuan, pers Indonesia
memasuki suatu masa baru yang sebelumnya tidak pernah dialami, yakni masa
berlangsungnya sistem Pers Liberal. Sejak tahun 1950 itulah pers Indonesia
memasuki masa-masa atau suatu keadaan yang oleh banyak pihak serta tokoh-tokoh
pers ketika itu bahkan juga sekarang ini disebut sebagai saat-saat ‘bebas dan
leluasa’.
Sistem Pers Liberal yang berkembang
di masa-masa itu tidak bisa melepaskan diri dari iklim dan kondisi politik yang
sedang berlangsung, terutama seputar persaingan di antara sesama partai politik
dalam berebut menanamkan pengaruhnya di masyarakat, maupun demi mencapai tujuan
menguasai kekuasaan di dalam pemerintahan.
Apa yang terjadi dan berkembang pada
masa-masa sistem Pers Liberal berlangsung di Indonesia pada periode 1950 hingga
1958 itu merupakan fenomena yang menarik dalam sejarah perjalanan pers di
Indonesia. Meskipun pers telah mendapatkan kebebasan untuk menyuarakan atau
menyampaikan pemberitaannya, namun pemerintah tetap melaksanakan pasal-pasal
dalam Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHP) yang berkaitan dengan
ketentuan pelanggaran pers terhadap hukum.
Sehingga ketika itu tidak sedikit
pimpinan-pimpinan media pers yang dihadapkan ke depan persidangan Pengadilan
dengan tuduhan telah melakukan pelanggaran terhadap ketentuan-ketentuan di
dalam KUHP.
Pada tahun 1958, Penguasa Perang
Daerah (Peperda) Jakarta Raya mengeluarkan suatu surat
keputusan yang sangat mengejutkan kalangan pers ketika itu, terutama yang
berada di Jakarta.
Keputusan mengejutkan itu adalah mengharuskan semua media pers, khususnya media
pers yang terbit di ibukota Jakarta
untuk mempunyai Surat Izin Terbit (SIT).
4.
Sistem Pers Manipol
Dalam pidato kenegaraan 17 Agustus
1959, Presiden Soekarno mencanangkan Manifesto Politik (Manipol) yang
dinyatakan sebagai Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN). Manipol yang
dicanangkan Bung Karno itu terdiri dari lima
unsur penting yakni UUD 1945, Sosialisme Indonesia,
Demokrasi Terpimpin, Ekonomi Terpimpin dan Kepribadian Indonesia. Kelima unsur penting itu
selalu disingkat dengan singkatan USDEK. Manipol-Usdek telah menjadi pegangan
dan landasan ideologis bangsa.
Dengan pemberlakuan Manipol-Usdek
itu media pers nasional pun diharuskan untuk menyesuaikan kerja jurnalistiknya
kepada langkah-langkah atau pemberitaan yang berpedoman pada Manipol-Usdek
tersebut. Media pers yang tidak mengindahkan kebijakan itu dipandang oleh
pemerintah sebagai pers yang melawan arus perjalanan revolusi bangsa.
Pertentangan antar media pers
menjadi semakin tajam. Menjelang meletusnya pemberontakan Gerakan Tigapuluh
September (G 30 S/PKI) yang dilaksanakan tanggal 30 September 1965, puncak
pertentangan semakin mengental antara media pers pendukung Partai Komunis
Indonesia (PKI) dengan media pers yang anti komunis.
Media pers yang anti PKI ketika itu
bergabung dalam kelompok Badan Pendukung Soekarnoisme (BPS), yang merupakan
kelompok perlawanan terhadap ofensif PKI yang dipandang membahayakan UUD 1945
dan Pancasila. Ketika itu hampir setiap hari, media pers pendukung PKI dengan
yang anti PKI terlibat ‘saling serang’ dan ‘saling cerca’ melalui pemberitaan
maupun tajuk rencananya masing-masing.
5.
Sistem Pers Pancasila
Matinya
pers komunis setelah gagalnya pengkhianatan G 30 S/PKI itu dengan cepat
ditandai semaraknya warna pers yang anti PKI. Penghujatan, cemooh dan celaan
terhadap apa yang telah dilakukan PKI sampai pada puncak pengkhianatannya
tanggal 30 September 1965 mewarnai hampir setiap hari pemberitaan media pers
yang sebelumnya bertahun-tahun berada dalam deraan teror dan tekanan PKI
melalui media-media pers pendukungnya.
Perjalanan pers Indonesia kembali memasuki babak
baru, yang disebut sebagai “masa untuk membela, mendukung dan melaksanakan Pancasila”.
Babak baru ini ditandai dengan disahkannya Undang-undang Republik Indonesia
Nomor 11 Tahun 1966 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Pers.
Di dalam Undang-undang yang disahkan
pada tanggal 12 Desember 1966 oleh Presiden Soekarno itu dinyatakan secara
tegas dan jelas Undang-undang tersebut dibuat dengan pertimbangan antaralain
bahwa Pers Nasional harus merupakan pencerminan yang aktif dan kreatif daripada
penghidupan dan kehidupan bangsa berdasarkan Demokrasi Pancasila; sesuai dengan
asas Demokrasi Pancasila, pembinaan pers ada di tangan pemerintah bersama-sama
dengan perwakilan pers; pers merupakan alat revolusi, alat sosial-kontrol, alat
pendidik, alat penyalur dan pembentuk pendapat umum serta alat penggerak massa;
pers Indonesia merupakan pengawal revolusi yang membawa darma untuk
menyelenggarakan Demokrasi Pancasila secara aktif dan kreatif.
Di awal-awal kemunculan Orde Baru,
pers Indonesia
merasa berada dalam suatu situasi dan suasana yang penuh dengan ‘sukacita
kegembiraan’. Pers Indonesia
ketika itu telah mendapatkan dukungan yang kuat dan nyata dari pemerintah
termasuk di dalamnya kekuatan militer yang memang sedang melaksanakan kerja
besar melakukan penghancuran terhadap kekuatan-kekuatan PKI sampai ke
akar-akarnya.
Akan tetapi suasana keharmonisan
‘bulan madu’ antara pers dengan pemerintah itu ternyata tidak berlangsung lama.
Kondisi yang begitu menggembirakan itu hanya sempat berjalan beberapa tahun
saja. Masa-masa ‘bulan madu’ yang penuh kegembiraan dan menyenangkan itu
kemudian terganggu dengan kondisi serta iklim politik yang berkembang menjelang
dan sesudah peristiwa “Malari” 1974 atau dikenal juga dengan sebutan peristiwa
Malapetaka 15 Januari 1974.
Retaknya hubungan yang semula
harmonis antara pers dengan pemerintah ditandai oleh langkah atau tindakan
pemerintah yang mencabut izin terbit sejumlah suratkabar. Suratkabar yang
dibreidel itu antaralain Harian Indonesia Raya, Pedoman, Abadi, Harian Kami, Ekspres,
The Jakarta Times dan Mingguan Mahasiswa Indonesia. Bahkan sekitar
setahun sebelum peristiwa Malari meletus, pemerintah dalam hal ini Panglima
Kopkamtib telah mencabut sementara izin terbit Harian Sinar Harapan.
Di tengah-tengah kondisi iklim
kecurigaan seperti itulah seorang tokoh pers di Yogyakarta,
M Wonohito, memperkenalkan sistem Pers Pancasila di tahun 1977. Di tahun itu
buku Teknik Jurnalistik Sistem Pers
Pancasila diterbitkan oleh Departemen Penerangan untuk menjadi buku
pegangan dan acuan masyarakat pers Indonesia dalam mempertegas fungsi
serta perannya sebagai pers pembela dan pendukung Pancasila.
Apa yang dilakukan
oleh M Wonohito (1912 – 1984) yang waktu itu adalah Pemimpin Redaksi Harian Kedaulatan Rakyat dalam memperkenalkan
dan menyebarluaskan sistem Pers Pancasila ternyata tidak sia-sia.
Sejak sistem Pers Pancasila dipertegas
eksistensinya oleh Dewan Pers dalam sidang pleno Desember 1984 itu, maka
pemahaman mengenai Pers Pancasila semakin memasyarakat dan menjiwai perjalanan
serta perkembangan pers Indonesia. Akan tetapi, meskipun kemudian Pers
Pancasila dapat memasyarakat dan menjiwai ‘roh’ pers Indonesia, namun pada
kenyataan dan realita pelaksanaannya ternyata tidaklah seirama atau sesuai
dengan hakekat nilai-nilai serta semangat Pers Pancasila itu sendiri.
Datangnya era reformasi telah
membangunkan kesadaran bari
bagi pers nasional untuk kembali menemukan jatidirinya sebagai penyebar
informasi yang benar dan obyektif, penyalur aspirasi rakyat dan kontrol sosial
yang konstruktif. Pers nasional yang sebelumnya seakan tidak memiliki kemampuan
dan tak berdaya untuk melepaskan diri dari pengaruh serta campurtangan
pemerintah yang kuat, mendadak menggeliat dan bangkit dari ketidakberdayaannya.
Pers mendapatkan angin yang segar. Angin kebebasan, angin kemerdekaan pers.
Reformasi di bidang peraturan
mengenai pers itu di antaranya meninjau kembali Peraturan Menteri Penerangan RI
Nomor 01/Per/Men/1984 tentang Surat Izin Usaha Penerbitan Pers (SIUPP) dengan
mengeluarkan peraturan baru yakni Peraturan Menteri Penerangan RI Nomor
01/Per/Menpen/1998 tentang ketentuan-ketentuan Surat Izin Usaha Penerbitan Pers
(SIUPP). Permenpen baru yang ditandatangani Menteri Penerangan Muhammad Yunus
Yosfiah itu telah membuka pintu kemudahan selebar-lebarnya dalam proses
perolehan SIUPP.
Di era reformasi, terlebih lagi
setelah Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 Tentang Pers disahkan oleh Presiden
BJ Habibie pada 23 September 1999, angin segar kebebasan dan kemerdekaan pers
terasa meniup begitu kencang. Pers Pancasila yang selama bertahun-tahun berada
dalam jaring pengertian dan kekuasaan pemerintah, telah menemukan nuansa dan
semangat baru. Nuansa demokrasi dan kemerdekaan pers membuat wajah pers
nasional secara tiba-tiba berubah drastis dan cepat. +++
(sutirman eka ardhana)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar