PERTEMUAN
2
SISTEM PERS INDONESIA
1.
Sistem Pers Dunia
DALAM
sejarah perjalanan pers dunia, sejak pertama kali diperkenalkan oleh Kaisar
Romawi Julius Caesar melalui media Acta
Diurna, disusul munculnya koran pertama di Jerman Avisa Relation oder Zeitung pada tahun 1690 hingga sampai hari ini
secara umum dikenal empat sistem pers. Keempat sistem pers yang dikenal luas
oleh masyarakat dunia itu terdiri: pers otoriter atau otoritarian (authoritarian press), pers liberal (libertarian press), pers komunis –
Soviet (Soviet Communist press) dan pers tanggungjawab sosial (social responsibility press).
Pers otoriter merupakan sistem pers
yang tertua. Dalam sistem pers otoriter ini, media pers sama sekali tidak
memiliki kebebasan bersikap karena senantiasa berada dalam kungkungan atau
belenggu kekuasaan. Peran pemerintah atau penguasa sangat besar, kuat dan
dominan dalam perkembangan serta kelangsungan kehidupan pers. Dengan kata lain,
pers sama sekali tidak memiliki kekuatan atau kemampuan untuk mandiri,
melainkan benar-benar tunduk dan patuh pada segala keinginan, kebijakan,
ketentuan-ketentuan maupun aturan yang datang dari penguasa. Pemerintah atau
penguasa bisa menggunakan bermacam-macam dalih dalam mengatur dan mengawasi
pers, di antaranya dalih demi menjaga stabilitas dan keamanan negara.
Sistem pers otoriter ini
menghalalkan lembaga sensor. Artinya, lembaga sensor yang merupakan kepanjangan
tangan dari penguasa itu memiliki peranan dan kekuasaan besar untuk mengawasi
pers. Karena dengan lembaga sensor maka media pers benar-benar dapat
dikendalikan dan dikontrol, sehingga pemberitaannya bisa dijaga dari hal-hal
yang dapat merugikan kepentingan-kepentingan penguasa atau rezim pemerintah.
Akibat dari sistem pers otoriter atau otoritarian ini, media pers tidak hanya
menjadi corong penyalur suara rezim penguasa dalam menyampaikan berbagai
kebijakan pemerintahannya, tetapi juga dapat dijadikan alat penekan untuk
memperkuat kekuasaan.
Pers liberal merupakan sistem pers
yang mengedepankan kebebasan media pers dalam menyampaikan pemberitaannya tanpa
memiliki keterikatan dengan pengaruh dan ancaman rezim penguasa. Sistem pers
ini sangat bertolakbelakang dengan pers otoriter.
Dalam sisten pers liberal ini,
pemerintah atau penguasa tidak mempunyai peluang untuk ‘campurtangan’
menggunakan media pers sebagai alat penekan maupun penguat kekuasaan. Di dalam
sistem ini, tidak dikenal istilah lembaga sensor. Dengan tidak adanya lembaga
sensor, maka pemerintah atau penguasa tidak lagi mempunyai kemampuan untuk
mengendalikan serta mengontrol ke mana serta bagaimana arah pemberitaan media
pers.
Pers di dalam sistem pers liberal
benar-benar memiliki kebebasan untuk menyampaikan atau memberitakan apapun
tanpa ada keraguan apakah pemberitaannya itu nanti akan merugikan maupun
mendiskreditkan pemerintah atau tidak. Sistem pers liberal hingga hari ini
banyak dianut oleh pers di negara-negara maju terutama Barat serta
negara-negara yang menyatakan dirinya sebagai negara yang menempatkan demokrasi
teratas dari segala-galanya.
Pers komunis merupakan sistem pers
yang berkembang dan dianut di negara-negara berideologi komunis, terutama di
negara-negara yang dulu tergabung dalam Uni Soviet. Di dalam sistem pers ini,
media pers mempunyai kewajiban untuk mematuhi atau tunduk pada semua langkah
dan kebijakan partai (partai komunis) sebagai pengendali serta pemegang
kekuasaan negara.
Melihat kepada sistem dan tatacara
pengendaliannya, sistem pers komunis jelas-jelas merupakan pengembangan dari
sistem pers otoriter. Karena seperti halnya pada sisten pers otoriter atau
otoritarian, media pers sama sekali tidak memiliki kemerdekaan atau kebebasan
untuk mengekspresikan sikap dan pendiriannya. Sikap pers haruslah disesuaikan
dengan setiap kebijakan dan sikap negara. Dengan kondisi seperti itu, maka pers
di negara-negara komunis senantiasa berada dalam kendali serta kontrol kelas
pekerja dan partai.
Menurut Dennis McQuail (1987), dalam
sistem pers komunis ini pers memainkan peran positif dalam pembentukan
masyarakat serta gerakan ke arah komunisme, dan hal ini menunjukkan sejumlah
fungsi yang penting bagi media dalam sosialisasi, pengendalian sosial informal
dan mobilisasi untuk mencapai tujuan sosial dan ekonomi yang terencana.
Sedangkan pers tanggungjawab sosial
merupakan perkembangan dari sistem pers liberal yang dipandang memiliki
kebebasan tanpa batas. Sistem pers ltanggungjawab sosial merupakan pilihan
jalan keluar dari kekhawatiran bahwa pers liberal memiliki kebebasan yang tidak
jarang mengancam berbagai kepentingan di dalam kehidupan masyarakat.
Meskipun masih memegang teguh
prinsip-prinsip kebebasan pers, tetapi sistem pers tanggungjawab sosial
memberikan penekanan serta perhatian yang sangat besar kepada prinsip hak-hak
masyarakat. Dalam pengertian, kebebasan yang dimiliki media pers itu bukanlah
kebebasan yang bisa menyeret atau menjerumuskan masyarakat kepada keterpurukan
kehidupan. Dengan kebebasan yang dimilikinya, media pers dalam sistem pers
tanggungjawab sosial ini senantiasa berusaha menghindar agar pemberitaan atau sajiannya
tidak mengarah pada hal-hal yang bisa menimbulkan kekacauan, ketidakstabilan
keamanan serta saling permusuhan antar sesama masyarakat.
Perbedaan-perbedaan maupun kedekatan
di antara keempat sistem pers itu telah diuraikan secara mendalam oleh Frederick
S Siebert, Theodore Peterson dan Wilbur Schramm dalam bukunya Four Theories of the Press (1956). Siebert, Peterson dan Schramm menyebutkan,
sistem pers komunis merupakan perkembangan dari sisten pers otoriter atau
otoritarian. Sedangkan sistem pers tanggungjawab sosial merupakan perkembangan
dari sistem pers liberal.
Pada dasarnya baik sistem pers
liberal maupun sistem pers tanggungjawab sosial sama-sama mengedepankan
prinsip-prinsip kemerdekaan atau kebebasan pers. Meskipun begitu di antara
kedua sistem pers ini, seperti dikemukakan Siebert, Peterson dan Schramm,
terdapat sejumlah perbedaan yang cukup signifikan. Di antaranya, kontrol di
dalam sistem pers tanggungjawab sosial dilakukan oleh pandangan masyarakat
selaku konsumen dan etika profesional. Sementara di dalam sistem pers liberal,
semua tergantung pada pasar bebas.
Meskipun secara umum dikenal empat
sistem pers (seperti dilontarkan Siebert, Peterson dan Schramm), tapi sejumlah
pakar telah pula mengemukakan pendapatnya bahwa keempat sistem pers itu tidak
lagi bisa dijadikan pegangan, karena telah muncul dan berkembang sistem pers
yang lainnya.
William A. Hachten misalnya, telah
mengemukakan adanya lima sistem atau lima konsep pers. Kelima
konsep pers itu: konsep otoritarian, konsep Barat, konsep Komunis, konsep
revolusioner dan konsep pembangunan. (lihat William A. Hachten, Bentrokan Ideologi: Lima Konsep Pers,
dalam Dedy Djamaluddin Malik, Jalaluddin Rakhmat dan Mohammad Shoelhi (ed.), Komunikasi Internasional, LP3K – PT
Remaja Rosdakarya, Bandung, 1993).
Menurut Hachten, konsep pers
Revolusioner sebenarnya berangkat dari pemikiran Lenin (pemimpin Komunis
Soviet) yang menyatakan bahwa suratkabar atau media pers akan menjadi peliput
bagi organisasi revolusioner yang besar dan alat komunikasi di antara para
pengikutnya. Dalam pandangan Lenin, pers revolusioner merupakan suatu pers yang
sangat diyakini rakyat bahwa pemerintah tidak mampu memenuhi kepentingan mereka
dan karenanya harus ditumbangkan.
Dengan pengertian lain, pers
Revolusioner merupakan sistem atau konsep pers yang digunakan untuk melawan
atau menumbangkan kekuasaan pemerintahan yang dipandang bertindak
sewenang-wenang dan tidak memihak rakyat. Di dalam pemerintahan yang tiran dan
otoriter, pers revolusioner kebanyakan berkembang secara ‘bawah tanah’.
Tentang sistem atau konsep pers
Pembangunan, di dalam buku Komunikasi
Internasional (Dedy Djamaluddin Malik, Jajaluddin Rakhmat dan Mohammad
Shoelhi – ed) telah diuraikan lima ukuran yang dikemukakan Hachten, yakni: 1.
Semua sarana komunikasi massa – suratkabar, radio televisi, gambar hidup, dan
berbagai pelayanan informasi lainnya – harus digerakkan oleh pemerintah pusat
untuk membantu tugas agung pembangunan bangsa seperti memerangi buta huruf dan
kemiskinan, membangun kesadaran politik rakyat, membantu perkembangan ekonomi.
Juga termasuk di sini adalah tanggungjawab sosial bahwa pemerintah harus
memberikan pelayanan dan bantuan secukupnya terhadap media massa bila mereka tidak mampu membantu
dirinya sendiri; 2. Oleh karena itu, media harus mendukung pemerintah dan tidak boleh menentangnya. Tidak ada
tempat perbedaan pendapat dan kritik, karena ada sebagian alasan bagi
pemerintah yang sedang berkuasa untuk membela diri melalui media bila terjadi
kekalutan; 3. Dengan demikian, informasi (kebenaran) menjadi milik negara, arus
kekuasaan (dan kebenaran) antara pemerintah dan yang diperintah berlangsung
dari atas ke bawah seperti dalam konsep otoritarianisme tradisional. Informasi
atau berita merupakan sumber daya nasional yang sangat langka, informasi atau
berita itu harus digunakan untuk mengembangkan tujuan nasional; 4. Termasuk di
dalamnya, tetapi tidak sering diartikulasikan adalah pandangan bahwa hak
individu untuk menyatakan pendapat dan kebebasan sipil lainnya agak kurang
relevan bila dikaitkan dengan masalah besar kemiskinan, penyakit, buta huruf,
dan kesukuan yang melanda kebanyakan negara-negara Dunia Ketiga; 5. Konsep pers
terpimpin ini lebih jauh mengandung pandangan bahwa setiap bangsa berdaulat
berhak mengontrol para wartawan asing dan mengontrol arus keluar dan masuknya
berita yang melintasi perbatasan negara.
Bagaimana dengan pers di Indonesia
sebagai bagian dari komunitas masyarakat pers dunia? Sistem pers apa yang
berkembang dan digunakan atau dijadikan pegangan oleh pers Indonesia dalam
melaksanakan aktivitasnya sebagai penmyampai informasi dan alat kontrol sosial
selama ini? Apakah sistem-sistem atau konsep-konsep pers seperti yang
dikemukakan Siebert, Peterson dan Schramm serta Wachten itu mendapat tempat
dalam kehidupan pers di Indonesia?
Dewasa ini pers Indonesia tidak
berpedoman dan tidak menggunakan secara terbuka satu pun dari sistem-sistem
pers yang diakui masyarakat pers internasional itu. Karena sejak era Orde Baru
lalu, pers di Indonesia
telah menggunakan sistem Pers Pancasila. Sebelum berbicara lebih jauh tentang
Pers Pancasila itu ada baiknya kita menoleh lagi jauh ke belakang untuk melihat
dan mencermati sekilas liku-liku, pasang-surut serta dinamika perjalanan pers
di Tanah Air.
Sejarah perjalanan pers di Indonesia sangatlah
panjang. Sejarah perjalanan pers yang panjang sejak masa penjajahan hingga di
alam kemerdekaan sekarang ini sangatlah menarik untuk disimak dan dicermati.
Bila membuka kembali lembar-lembar sejarah perkembangan dan perjalanan panjang
pers Indonesia,
maka kita akan menemukan beberapa tahapan atau periodesasi.
Sejarah peradaban pers di Indonesia dimulai pada tahun 1744 ketika
suratkabar pertama terbit di Hindia Belanda (Indonesia)
bernama Batavia
Nouvelles. Suratkabar ini terbit di Batavia
(sekarang Jakarta)
yang waktu itu juga sudah menjadi pusat pemerintahan atau kekuasaan Belanda di
Hindia Belanda. Meskipun demikian, periodesasi perjalanan pers di Indonesia baru
dapat dimulai dari tahun 1907 yang ditandai dengan terbitnya koran Medan Prijaji. Koran Medan Prijaji ini diterbitkan oleh RM
Tirtohadisuryo di Bandung, dengan demikian koran ini merupakan media pers
pertama di tanah Hindia Belanda yang diterbitkan atau dimiliki oleh pribumi Indonesia.
Karena koran Medan Prijaji tercatat sebagai media pers pertama yang menyuarakan
semangat nasionalisme dan kebangsaan Indonesia di tengah-tengah kekuasaan
penjajahan Belanda itu, maka sejak tahun 1907 hingga 1945 disebut sebagai
periode Pers Kebangsaan atau Pers Perjuangan. Kemudian periode Pers Kemerdekaan
berlangsung sejak tahun 1945 hingga 1950. Disusul periode Pers Liberal
sepanjang tahun 1950 sampai 1958, lalu dilanjutkan dengan periode Pers
Manipol/Demokrasi Terpimpin yang berlangsung sejak 1958 sampai 1966, dan
periode Pers Pembangunan (versi Indonesia) yang kemudian berkembang menjadi
Pers Pancasila. Periode ini berlangsung dari 1966 sampai sekarang.
2.
Sistem Pers Kebangsaan
Pers Kebangsaan atau Pers Perjuangan
yang muncul sejak tahun 1907 hingga 1945
itu mempunyai dinamika dan liku-liku perjalanan yang menarik untuk disimak.
Sejak tahun 1907 itulah Pers Kebangsaan berusahaan sekuat daya dan tenaga untuk
meletakkan eksistensi dan keberadaannya di tengah-tengah cengkeraman kekuasaan
penjajahan. Baik penjajahan kolonial Belanda maupun pendidikan balatentara
Jepang.
Media Pers Kebangsaan yang muncul
hampir bersamaan dengan kelahiran organisasi-organisasi pergerakan kebangsaan
di masa itu tidak hanya sekadar tampil sebagai media pers penyampai informasi,
tetapi juga telah berubah bentuk menjadi salah satu alat perjuangan guna
mencapai cita-cita mulia kemerdekaan bagi segenap bangsa Indonesia. Pers
bersama kekuatan-kekuatan pergerakan kebangsaan lainnya saling bahu-membahu
menggelorakan semangat kebangsaan mewujudkan Indonesia Raya yang terbebas dari
cengkeraman tangan-tangan penjajahan.
Lahirnya organisasi “Boedi Oetomo”
di tahun 1908 telah membawa pengaruh yang sangat besar bagi eksistensi Pers
Kebangsaan yang ketika itu sedang melangkah menapak dan memantapkan diri.
Karena seiring dengan itu, kemudian bermunculan sejumlah media pers yang
meramaikan dan menyemarakkan pertumbuhan pers di Nusantara. Dan, sebagian besar
media pers yang muncul itu menyuarakan semangat dan gelora Pers Kebangsaan yang
membara, menyusul langkah yang telah ditempuh koran Medan Prijaji. Beberapa media pers itu di antaranya Boemipoetera yang terbit di Jakarta
(Batavia) tahun 1909, kemudian di Medan (Sumatera Utara) tahun 1910 terbit pula
Pewarta Deli, di tahun yang sama
terbit Neratja di Jakarta. Tahun 1911
di Padang (Sumatera Barat) terbit Al-Moenir,
tahun 1912 di Padang terbit lagi media baru bernama Oetoesan Melajoe. Tahun 1913 di Surabaya terbit Oetoesan Hindia, kemudian disusul pula
di Medan tahun 1916 terbit dua media yakni Soeloeh
Melajoe dan Benih Merdeka.
Media Pers Kebangsaan dari tahun ke
tahun waktu itu semakin berkembang dan tumbuh subur. Kontrol atau pengawasan
dari penguasa penjajah kolonial Belanda yang ketat dan keras, ternyata tidak
menyurutkan langkah tokoh-tokoh Pers Kebangsaan atau Pers Perjuangan yang
notabene juga merupakan tokoh-tokoh perjuang pergerakan itu dalam membangun dan
mengembangkan semangat perjuangan mencapai Indonesia merdeka melalui media
pers.
Media Pers Kebangsaan yang
menyuarakan semangat perjuangan itu terus bermunculan sepanjang tahun 1920-an
hingga 1942. Di antaranya di Medan terbit Matahari
Indonesia, Sinar Deli, Pedoman Masyarakat dan Panji Islam, kemudian di Jakarta terbit pula Bintang Timoer, Pemandangan, Kebangoenan dan Daoelat Rakjat. Di kota Bandung terbit Fikiran
Rakjat, di Palembang ada Obor Rakjat
dan di Surabaya
terbit Soeara Oemoem.
Sedang di Yogyakarta telah lahir
sejumlah media pers di antaranya Boeroeh
Bergerak (1920), Wasita (1928), Bintang Mataram (1928), Fajar Asia (1929), Pusara (1931), Garoeda Merapi (1931), Banteng Ra’jat (1932), dan Sinar
Mataram (1934).
Tetapi kemudian media Pers
Kebangsaan yang menyuarakan semangat perjuangan kemerdekaan itu dilanda ‘badai
bencana’ balatentara Jepang yang datang menduduki Indonesia di tahun 1942
setelah berhasil menyingkirkan kekuasaan kolonial Belanda. Media Pers
Kebangsaan atau Pers Perjuangan yang dibangun dengan susah payah oleh
tokoh-tokoh pers itu kemudian dimatikan oleh pemerintah atau penguasa
pendudukan Jepang melalui peraturan yang disebut Osamu Seiri atau Undang-undang
Pemerintahan Jepang Nomor 16. Tokoh-tokoh Pers Kebangsaan ketika itu tidak lagi
mempunyai kemampuan dan kekuatan untuk melawan ‘tangan besi’ pemerintah
pendudukan militer Jepang, kecuali mematuhi perintah itu dengan menghentikan
semua aktivitas penerbitan pers.
Tetapi kondisi itu tidak berjalan
lama. Ketiadaan saluran informasi membuat pemerintah pendudukan militer Jepang
berpikir ulang lagi tentang kebijakannya yang telah mematikan atau menutup
media pers yang sebelumnya ada. Pemerintah pendudukan militer Jepang kemudian
mempertimbangkan dan menyadari arti pentingnya media pers bagi keberlangsungan
kekuasaan dan pendudukannya di Indonesia
dengan menempuh kebijakan sedikit lunak, yakni mengizinkan terbitnya lagi
beberapa media pers.
Namun dalam kebijakannya itu, pemerintah
pendudukan militer Jepang mengajukan sejumlah persyaratan yang harus dijalankan
yakni tidak lagi menyuarakan semangat kebangsaan untuk meraih kemerdekaan Indonesia,
melainkan harus mengumandangkan geloran dan semangat kebangkitan “Asia Timur
Raya”.
Meski dengan perasaan terpaksa,
tokoh-tokoh pers ketika itu berusaha sebisa mungkin untuk memanfaatkan peluang
dan kebijakan bersyarat yang diberikan pemerintah pendudukan militer Jepang
tersebut. Tokoh-tokoh pers yang ada berharap, meski berada dalam kontrol dan
pengawasan pihak Jepang, setidak-tidaknya masih terbuka peluang atau kesempatan
untuk membangkitkan kembali semangat serta gelora kebangsaan menuju cita-cita Indonesia
merdeka.
Dengan persyaratan seperti itu
kemudian terbitlah beberapa media pers, di antaranya Pemandangan (Jakarta),
Ekspres (Surabaya), Soeara Asia
(Surabaya), Tjahaja (Bandung), Sinar Matahari (Yogyakarta), Sinar Baroe (Semarang), Kita Soematra Shimbun (Medan), Palembang Shimbun (Palembang) dan Padang Nippo (Padang).
Hampir seluruhnya dari suratkabar
atau media pers tersebut berada di bawah kontrol dan pengawasan pemerintah
pendudukan militer Jepang. Jadi, sekitar tigasetengah tahun pendudukan militer
Jepang itu dapatlah disebut sistem pers yang berkembang di Tanah Air kita
adalah sistem pers otoritarian (otoriter). Media pers yang ada sama sekali
tidak memiliki kebebasan dan kemerdekaan dalam menyampaikan sikap serta
ekspresi dirinya, karena semuanya berada dalam kendali dan kontrol penguasa
pendudukan Jepang.
Proklami Kemerdekaan Republik
Indonesia yang diproklamirkan oleh Bung Karno dan Bung Hatta pada tanggal 17
Agustus 1945 dengan sendirinya telah membawa perubahan besar dan angin baru
bagi perjalanan serta perkembangan pers Indonesia. Wajah pers Indonesia di
masa-masa awal kemerdekaan itupun secara serta merta kemudian berubah menjadi
lebih semarak lagi. Jika sebelumnya (selama pendudukan militer Jepang) hanya
menyuarakan semangat gelora “Asia Timur Raya” serta hal-hal yang berkaitan
dengan kepentingan pendudukan militer Jepang berubah menjadi ajang
mengumandangkan sorak-sorai gelora kemerdekaan.
Setelah proklamasi kemerdekaan 17
Agustus 1945, media pers yang terbit atau ada ketika itu seakan saling
bahu-membahu mengembangkan pers kemerdekaan dan menyuarakan semangat persatuan
serta kesatuan bangsa. Misalnya Soeara
Asia (Surabaya), Tjahaja (Bandung), Berita Indonesia (Jakarta), Kedaulatan
Rakyat yang terbit 27 September 1945 di Yogyakarta (merupakan kelanjutan
dari Sinar Matahari) serta Merdeka yang terbit di Jakarta pada 1
Oktober 1945 dan sejumlah media pers lainnya tampak tidak kunjung berhenti
menggelorakan dan menginformasikan gelora kemerdekaan ke segenap penjuru Tanah
Air. Media pers ketika itu seketika merasa telah menemukan jatidirinya sebagai
pers pembela dan penjaga kemerdekaan.
Akan tetapi tahun-tahun di awal
kemerdekaan bukanlah masa-masa yang mudah bagi rakyat Indonesia.
Hambatan demi hambatan bermunculan di sana-sini. Negeri yang baru saja terbebas
dari cengkeraman penjajahan ini diguncang berbagai persoalan baik yang bersifat
internal maupun eksternal. Tidak hanya konflik-konflik politik antara
partai-partai politik yang ada, tetapi juga ganggung dari Belanda yang ternyata
masih berhasrat besar untuk tetap ingin kembali mencengkeramkan kuku kekuasaan
dan penjajahannya di Indonesia
melalui dua kali agresi yang dilancarkan militernya.
Gegap gempita semangat kemerdekaan
yang dikumandangkan media pers sejak Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945 itu
akibatnya tidak sempat berlangsung lama. Karena apa yang terjadi kemudian adalah
munculnya kondisi pers Indonesia
yang disibukkan atau dilelahkan dengan suasana pertentangan dan saling curiga
satu sama lain, sebagai dampai dari iklim politik yang rawan dan tidak stabil
saat itu.
Sejak akhir 1949 telah terjadi
sejumlah peristiwa politik yang penting di Indonesia. Di antaranya diawali
dengan pengakuan Kedaulatan Republik Indonesia oleh Kerajaan Belanda
pada tanggal 30 Desember 1949, yang kemudian disusul dengan diberlakukannya
Undang-undang Dasar Republik Indonesia Serikat (RIS) pada tanggal 1 Januari
1950. Akan tetapi UUD RIS ini tidak juga bisa berusia panjang, karena RIS
kemudian dibubarkan pada tanggal 15 Agustus 1950. Sejak 15 Agustus 1950, Indonesia
kembali menjadi Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
3.
Pers Liberal di Indonesia
Setelah kembali menjadi negara
kesatuan, pers Indonesia
memasuki suatu masa baru yang sebelumnya tidak pernah dialami, yakni masa
berlangsungnya sistem Pers Liberal. Sejak tahun 1950 itulah pers Indonesia
memasuki masa-masa atau suatu keadaan yang oleh banyak pihak serta tokoh-tokoh
pers ketika itu bahkan juga sekarang ini disebut sebagai saat-saat ‘bebas dan
leluasa’.
Sistem Pers Liberal yang berkembang
di masa-masa itu tidak bisa melepaskan diri dari iklim dan kondisi politik yang
sedang berlangsung, terutama seputar persaingan di antara sesama partai politik
dalam berebut menanamkan pengaruhnya di masyarakat, maupun demi mencapai tujuan
menguasai kekuasaan di dalam pemerintahan.
Di masa-masa ini hampir semua partai
politik, terutama partai-partai politik yang berpengaruh memiliki suratkabar
atau media pers yang digunakan sebagai corong atau kepanjangan tangan partai
dalam menyuarakan kepentingan-kepentingannya kepada masyarakat luas.
Dalam situasi sedang menapakkan
identitas dan jatidiri itu, kebebasan yang dimiliki sistem Pers Liberal di
tengah-tengah kondisi kerasnya persaingan kepentingan antar partai politik
tersebut ternyata telah menyeret media pers ke arah terjadinya kerawanan dan
kerapuhan persatuan bangsa maupun kestabilan politik. Suratkabar-suratkabar
yang menjadi corong partai politik itu lebih dominan membela kepentingan partai
politiknya sendiri dibanding dengan kepentingan yang lebih luas dan besar lagi,
yakni persatuan dan kesatuan bangsa. Sehingga apa yang terjadi ketika itu adalah
suasana saling serang, saling kecam dan saling mencerca satu sama lain.
Kebebasan pers yang ada dan
berkembang di awal-awal tahun 1950-an itu ternyata telah ditafsirkan serta
diartikan secara tidak tepat oleh media pers yang ada, karena kebebasan yang
ada diartikan atau diterjemahkan sebagai kebebasan pers untuk menyuarakan
kepentingan partai maupun golongan dalam mencapai sasaran tujuannya, dan bukan
menyuarakan kepentingan yang lebih luas, kepentingan bangsa dan negara.
Terutama tujuan dan sasaran dalam mempengaruhi serta meraih tempat di dalam
pemerintahan.
Akibatnya yang terjadi, seakan tanpa
ada kendali dan rambu-rambu yang menghalangi aktivitas pers. Pers ketika itu
seakan bebas untuk mencerca, bebas mencemooh maupun mencacimaki pihak-pihak
yang menjadi ‘lawan politik’, pemerintah bahkan pemimpin-pemimpin bangsa yang
semestinya berada dalam posisi dihormati.
Selain itu, akibatnya yang lebih
jauh, dalam menyampaikan informasi kepada khlayak pembaca, banyak media pers
yang terperosok atau terperangkap dengan mengedepankan opini ketimbang fakta.
Opini seakan dianggap memikiki nilai yang jauh lebih penting artinya
dibandingkan dengan fakta. Karena dengan mengedepankan opini, maka ‘sasaran
tembak’ dari suatu media pers akan lebih mudah mencapai dan menghunjam ke
sasaran tujuannya.
Misalnya, dalam upaya mempengaruhi
sikap dan pandangan masyarakat untuk tidak mempercayai langkah-langkah
kebijakan kabinet atau pemerintah maupun untuk mendiskreditkan keberadaan
tokoh-tokoh tertentu, tanpa terkecuali apakah ia pemimpin pemerintahan atau
bukan. Tidak jarang dalam mencapai tujuannya ada media pers yang justru
menghalalkan fitnah atau berita tanpa fakta yang jelas. Maka tidak berkelebihan
bila kemudian muncul kesimpulan bahwa sistem Pers Liberal ketika itu telah
dimanfaatkan sebagai ajang dan arena saling cerca, saling cemooh, saling
jelek-menjelekkan, saling caci-maki dan saling jatuh-menjatuhkan.
Pada bulan Juni 1954, Persbreidel Ordonantie yang merupakan
peraturan warisan dari pemerintah kolonial Belanda telah dicabut keberadaannya
oleh pemerintah Republik Indonesia.
Ordonansi yang memberikan wewenang atau hak kepada Gubernur Jenderal Hindia
Belanda untuk membreidel penerbitan pers yang sajiannya bisa mengancam dan
mengganggu keamanan di wilayah-wilayah jajahan itu disahkan oleh pemerintah
Kerajaan Belanda pada tahun 1931 dan 1932.
Meskipun ordonansi yang menghambat
kebebasan pers itu dicabut oleh pemerintah, tapi menurut Edward C. Smith
(1969), masalah yang sebenarnya tidak banyak berbeda, dikarenakan peraturan-peraturan
yang baru disusun dan pemerintah tetap akan mempunyai cukup rasionalisasi untuk
menekan pers.
Apa yang terjadi dan berkembang pada
masa-masa sistem Pers Liberal berlangsung di Indonesia pada periode 1950 hingga
1958 itu merupakan fenomena yang menarik dalam sejarah perjalanan pers di
Indonesia. Meskipun pers telah mendapatkan kebebasan untuk menyuarakan atau
menyampaikan pemberitaannya, namun pemerintah tetap melaksanakan pasal-pasal
dalam Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHP) yang berkaitan dengan
ketentuan pelanggaran pers terhadap hukum.
Sehingga ketika itu tidak sedikit
pimpinan-pimpinan media pers yang dihadapkan ke depan persidangan Pengadilan
dengan tuduhan telah melakukan pelanggaran terhadap ketentuan-ketentuan di
dalam KUHP. Akan tetapi dikarenakan kondisi politik yang belum stabil ketika
itu, menyebabkan langkah-langkah tegas pemerintah yang memproses melalui jalur
hukum atau pengadilan terhadap media pers yang dipandang ‘melakukan kesalahan’
dinilai oleh kalangan pers sebagai ancaman yang membahayakan eksistensi
kebebasan pers. Karenanya banyak media pers yang bersikap mengabaikan saja
ancaman-ancaman pemerintah tersebut, sehingga praktek saling cacimaki, saling
cemooh dan penyebaran fitnah masih saja tetap berlangsung.
Sistem Pers Liberal yang berkembang
dan menjadi pegangan pers saat itu memang cukup menggangu kinerja dan
kewibawaan pemerintah. Langkah-langkah dan kebijakan pemerintah sering
terganggu atau terganjal oleh sikap ‘tak bersahabat’ dan apriori media pers.
Penerapan pasal-pasal di dalam KUHP yang berkaitan dengan pemberitaan media
pers ternyata tidak banyak membantu usaha-usaha pemerintah dalam membatasi
ruang gerak pers agar tidak leluasa ‘bicara seenaknya’ dan ‘mengumbar opininya’
sendiri.
Kondisi seperti itu agaknya
dipandang oleh pemerintah sebagai sesuatu yang ‘berbahaya’ dan tidak
menguntungkan. Perilaku pers yang ‘sangat liberal’ itu bila diterus-teruskan
dan tidak segera dibatasi akan bisa menghambat upaya-upaya keras membangun
bangsa dan negara serta menjaga persatuan dan kesatuan, yang memang sedang
dalam tahapan membangun tersebut.
Setelah melalui berbagai
pertimbangan, pemerintah kemudian menyimpulkan perlunya segera diambil sikap
dan langkah-langkah cepat agar kebebasan pers yang dipandang sudah berada dalam
kondisi ‘terlewat batas’ dan ‘berbahaya’ itu tidak semakin berkepanjangan dan
tidak semakin memperkeruh keadaan. Sehingga yang terjadi kemudian, adalah suatu
langkah atau kebijakan yang sebelumnya nyaris tidak sempat terpikirkan oleh
kalangan pers, tiba-tiba telah diambil oleh pemerintah dalam upaya menegakkan
kewibawaan dan kehormatannya.
Pada tahun 1958, Penguasa Perang
Daerah (Peperda) Jakarta Raya mengeluarkan suatu surat
keputusan yang sangat mengejutkan kalangan pers ketika itu, terutama yang
berada di Jakarta.
Keputusan mengejutkan itu adalah mengharuskan semua media pers, khususnya media
pers yang terbit di ibukota Jakarta
untuk mempunyai Surat Izin Terbit (SIT).
Peperda Jakarta Raya itu memberi
batas waktu kepada media pers perihal ketentuan memiliki SIT itu sampai tanggal
1 Oktober 1958. Bila sampai batas waktu yang ditentukan tersebut, kewajiban
atau keharusan memiliki SIT itu tidak dipenuhi oleh media pers, maka akan
diberlakukan larangan terbit. Artinya, media pers yang sejak tanggal 1 Oktober
1958 belum memiliki Surat Izin Terbit (SIT) tidak akan mendapatkan hak untuk
terbit. Sehingga bila tetap terbit tanpa menggunakan SIT, maka media pers itu
dianggap sebagap media pers yang illegal.
Sehubungan dengan kebijakan
pemberlakuan SIT itu, Peperda Jakarta Raya menegaskan ancamannya bahwa bila
media pers yang tidak memiliki SIT itu tetap memaksakan diri terbit, maka
pihaknya akan mengambil tindakan tegas.
Angan-angan dan harapan para
wartawan atau pengelola media pers untuk tetap terus bertahan menghirup serta
menikmati ‘kenikmatan dan kebebasan’ sistem Pers Liberal yang mereka pandang
‘sangat menyenangkan’ itupun menjadi musnah, hancur dan pupus. Impian untuk
tetap dapat bersuara ‘lantang dan bebas’ dalam bersikap, mengkritisi siapapun,
atau ‘mencacimaki’ kelompok dan tokoh manapun akhirnya menjadi musnah. Bahkan
kalangan pers ketika itu beranggapan bahwa tanggal 1 Oktober 1958 sebagai
tanggal ‘kematian’ dan berakhirnya ‘kejayaan dan kekuasaan’ Pers Liberal di
bumi Indonesia.
Terlebih lagi setelah itu Penguasa
Perang Tertinggi (Peperti) menindaklanjuti kebijakan yang telah ditempuh
Peperda Jakarta Raya tersebut dengan mengeluarkan keputusan yang senada yakni
menerapkan keharusan memiliki Surat Izin Terbit (SIT) bagi seluruh media pers
di Tanah Air, tanpa terkecuali. Langkah pemberlakuan ketentuan SIT bagi media
pers di seluruh Indonesia
itu dinyatakan Peperti di tahun 1959.
Dengan keputusan Peperti itu, maka
tidak hanya media pers di wilayah ibukota Jakarta saja yang dikenakan ketentuan
keharusan memiliki SIT, tapi semua media pers yang terbit di seluruh Indonesia
juga memiliki keharusan yang sama. Media pers di seluruh Tanah Air ketika itu
memang sempat terkejut dan resah dengan kebijakan yang dipandang sebagai salah
satu bentuk pengekangan serta pengendalian terhadap kebebasan pers. Tetapi
karena kuatnya ‘tangan-tangan kekuasaan’, maka kalangan pers tidak mempunyai
keberanian atau kekuatan untuk menolak dan membendung kebijakan keharusan
memiliki SIT tersebut. Media pers yang ingin tetap bertahan hidup, ingin tetap
terbit, tidak mempunyai alternatif lain selain memenuhi persyaratan-persyaratan
yang berkaitan dengan ketentuan SIT.
Sistem Pers Liberal ketika itu
menjadi semakin tidak berdaya dan memiliki kekuatan lagi, setelah Presiden
Soekarno mengeluarkan keputusan penting yakni mengeluarkan Dekrit Presiden pada
5 Juli 1959 yang menegaskan diberlakukannya kembali UUD 1945 dan pembubaran
Konstituante. Dengan Dekrit Presiden itu maka benar-benar habislah ‘nyawa’ Pers
Liberal yang sempat memarakkan perjalanan pers di Indonesia sejak awal tahun 1950
itu.
Semenjak diberlakukannya Dekrit
Presiden 5 Juli 1959, pemerintah pun kemudian mengeluarkan sejumlah peraturan
dan ketentuan yang semakin ‘mengikat’ pers untuk senantiasa berpihak kepada
kepentingan-kepentingan politik pemerintah.
4.
Sistem Pers Manipol
Dalam pidato kenegaraan 17 Agustus
1959, Presiden Soekarno mencanangkan Manifesto Politik (Manipol) yang
dinyatakan sebagai Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN). Manipol yang
dicanangkan Bung Karno itu terdiri dari lima
unsur penting yakni UUD 1945, Sosialisme Indonesia,
Demokrasi Terpimpin, Ekonomi Terpimpin dan Kepribadian Indonesia.
Kelima unsur penting itu selalu disingkat dengan singkatan USDEK. Manipol-Usdek
telah menjadi pegangan dan landasan ideologis bangsa.
Dengan pemberlakuan Manipol-Usdek
itu media pers nasional pun diharuskan untuk menyesuaikan kerja jurnalistiknya
kepada langkah-langkah atau pemberitaan yang berpedoman pada Manipol-Usdek
tersebut. Media pers yang tidak mengindahkan kebijakan itu dipandang oleh
pemerintah sebagai pers yang melawan arus perjalanan revolusi bangsa.
Seiring dengan Manipol-Usdek,
pemerintah yang dipimpin Presiden Soekarno itupun menerapkan sistem demokrasi
yang disebut Demokrasi Terpimpin. Media pers yang ada benar-benar dibawa ke
alam Manipol dan Demokrasi Terpimpin. Kalangan pers seakan tidak lagi punya
keberanian dan kemampuan untuk keluar dari rel atau jalur yang sudah ditetapkan
pemerintah.
Berbagai kebijakan yang diambil
pemerintah untuk memperkuat ‘ikatan’ pers terhadap Manipol dan Demokrasi
Terpimpin di antaranya dengan dikeluarkannya Peraturan Peperti No 10 tentang
keharusan semua media pers memiliki izin terbit dan Peraturan Peperti Nomor 2
Tahun 1961 mengenai keharusan percetakan pers menjadi alat untuk menyebarluaskan
Manipol dan Dekrit Presiden. Kemudian Peraturan Peperti No 6 Tahun 1961
mengenai ketentuan pers untuk mendukung Demokrasi Terpimpin.
Pemerintah benar-benar bertekad
sekuat mungkin untuk menghapus sistem Pers Liberal dari bumi Indonesia. Ini
terlihat jelas dari langkah-langkah yang telah diambil pemerintah dalam
menegakkan kendali dan pengawasannya terhadap media pers yang ada. Dalam
menegakkan tekadnya itu, pemerintah pun tidak segan-segan menempuh langkah
keras kepada media pers yang dinilai tidak memenuhi ketentuan-ketentuan yang
ada. Akibatnya sejumlah media pers yang menolak kebijakan pemerintah itu
diberhentikan penerbitannya.
Dalam konteks kebebasan pers, maka
apa yang terjadi di masa-masa itu adalah kondisi pers yang berada dalam posisi sulit
dan rumit. Pers seakan sulit untuk menemukan alternatif lain selain menempatkan
dirinya untuk berjalan ‘seiring-sejalan’ dan ‘seiya-sekata’ dengan semua
kebijakan pemerintah, sekalipun langkah-langkah pemerintah itu dipandang tidak
pada tempatnya. Pers harus ‘tunduk’, harus mau bekerjasama dengan segala
langkah dan kebijakan pemerintah. Bila tidak mau bekerjasama, sudah dapat
dipastikan media pers itu akan ‘ tergulung gelombang revolusi’ yang besar dan
kuat.
Proyek Nasakom (Nasional, Agama dan
Komunis) yang dicanangkan Bung Karno, serta sejumlah kebijakan politik lainnya
telah merubah wajah pers Indonesia
ke warna yang tidak menentu. Terlebih lagi ketika pemerintah kemudian
mengeluarkan kebijakan politik atau peraturan yang telah mewajibkan semua media
pers terutama suratkabar untuk berinduk kepada partai politik maupun organisasi
massa yang ada.
Keharusan itu tidak hanya berlaku bagi media pers yang terbit di ibukota Jakarta, tetapi juga
media-media pers yang terbit di daerah.
Keadaan seperti ini menyebabkan
pertentangan atau konflik antar partai politik juga merembet ke media pers.
Karena sudah menginduk ke parpol atau ormas tertentu, dengan sendirinya media
pers itu memiliki beban moral dan keharusan untuk menyuarakan kepentingan dari
parpol atau ormas yang diikutinya. Media pers kembali terjebak di dalam keadaan
yang tidak bisa bersikap netral dan independen. Sehingga yang terjadi ketika
itu munculnya tiga kelompok dominan yang mewarnai wajah pers Indonesia.
Ketiga kelompok dominan itu: kelompok pers nasionalis, kelompok pers agamis
(partai-partai Islam) dan kelompok pers komunis.
Pertentangan antar media pers
menjadi semakin tajam. Menjelang meletusnya pemberontakan Gerakan Tigapuluh
September (G 30 S/PKI) yang dilaksanakan tanggal 30 September 1965, puncak
pertentangan semakin mengental antara media pers pendukung Partai Komunis
Indonesia (PKI) dengan media pers yang anti komunis.
Media pers yang anti PKI ketika itu
bergabung dalam kelompok Badan Pendukung Soekarnoisme (BPS), yang merupakan
kelompok perlawanan terhadap ofensif PKI yang dipandang membahayakan UUD 1945
dan Pancasila. Ketika itu hampir setiap hari, media pers pendukung PKI dengan
yang anti PKI terlibat ‘saling serang’ dan ‘saling cerca’ melalui pemberitaan
maupun tajuk rencananya masing-masing.
5.
Sistem Pers Pancasila
Matinya
pers komunis setelah gagalnya pengkhianatan G 30 S/PKI itu dengan cepat
ditandai semaraknya warna pers yang anti PKI. Penghujatan, cemooh dan celaan
terhadap apa yang telah dilakukan PKI sampai pada puncak pengkhianatannya
tanggal 30 September 1965 mewarnai hampir setiap hari pemberitaan media pers
yang sebelumnya bertahun-tahun berada dalam deraan teror dan tekanan PKI
melalui media-media pers pendukungnya.
Perjalanan pers Indonesia
kembali memasuki babak baru, yang disebut sebagai “masa untuk membela,
mendukung dan melaksanakan Pancasila”. Babak baru ini ditandai dengan
disahkannya Undang-undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 1966 tentang
Ketentuan-ketentuan Pokok Pers.
Di dalam Undang-undang yang disahkan
pada tanggal 12 Desember 1966 oleh Presiden Soekarno itu dinyatakan secara
tegas dan jelas Undang-undang tersebut dibuat dengan pertimbangan antaralain
bahwa Pers Nasional harus merupakan pencerminan yang aktif dan kreatif daripada
penghidupan dan kehidupan bangsa berdasarkan Demokrasi Pancasila; sesuai dengan
asas Demokrasi Pancasila, pembinaan pers ada di tangan pemerintah bersama-sama
dengan perwakilan pers; pers merupakan alat revolusi, alat sosial-kontrol, alat
pendidik, alat penyalur dan pembentuk pendapat umum serta alat penggerak massa;
pers Indonesia merupakan pengawal revolusi yang membawa darma untuk
menyelenggarakan Demokrasi Pancasila secara aktif dan kreatif.
Dalam babak baru pers Indonesia pasca
matinya pers pendukung komunis itu, mengenai fungsi, kewajiban dan hak pers
telah disebutkan secara jelas pada pasal 2 Bab II UU Nomor 11 Tahun 1966
tersebut. Ayat 1 pasal 2 itu menyebutkan: Pers Nasional adalah alat revolusi
dan merupakan media massa yang bersifat aktif,
kreatif, edukatif, informatoris dan mempunyai fungsi kemasyarakatan pendorong
dan pemupuk daya pikiran kritis dan progresif meliputi segala perwujudan
kehidupan masyarakat Indonesia.
Kemudian ayat 2 pasal 2 UU itu
menyebutkan bahwa Pers Nasional berkewajiban: a. Mempertahankan, membela,
mendukung dan melaksanakan Pancasila dan Undang-undang Dasar 1945 secara murni
dan konsekuen; b. Memperjuangkan pelaksanaan Amanat Penderitaan Rakyat,
berlandaskan Demokrasi Pancasila; c. Memperjuangkan kebenaran dan keadilan atas
dasar kebebasan pers; d. Membina persatuan dan kekuatan-kekuatan progresif
revolusioner dalam perjuangan menentang imperialisme, kolonialisme,
neo-kolonialisme, liberalisme, komunisme dan fasisme/diktator; e. Menjadi
penyalur pendapat umum yang konstruktif dan progresif revolusioner. Sedangkan
pasal 3 UU No 11 Tahun 1966 itu menyatakan bahwa pers mempunyai hak kontrol,
kritik dan koreksi yang bersifat korektif dan kosntruktif.
Di dalam pasal 2 Bab II UU No 11
Tahun 1966 itu terlihat dengan jelas ke mana arah dan sasaran pers Indonesia pasca matinya pers pendukung komunisme
di Indonesia.
Arah dan sasaran pers Indonesia
sudah jelas yakni mempertahankan, membela, mendukung dan melaksanakan Pancasila
serta UUD 1945. Pergantian pemerintahan dari Orde Lama ke Orde Baru ketika itu
semakin mempertegas sikap dan langkah nyata pers Indonesia dalam mempertahankan dan
membela eksistensi Pancasila sebagai ideologi negara.
Di awal-awal kemunculan Orde Baru,
pers Indonesia
merasa berada dalam suatu situasi dan suasana yang penuh dengan ‘sukacita kegembiraan’.
Pers Indonesia
ketika itu telah mendapatkan dukungan yang kuat dan nyata dari pemerintah
termasuk di dalamnya kekuatan militer yang memang sedang melaksanakan kerja
besar melakukan penghancuran terhadap kekuatan-kekuatan PKI sampai ke akar-akarnya.
Dalam menghancurkan
kekuatan-kekuatan PKI tersebut, pers menyatukan langkah dan geraknya bersama
pemerintah. Ketika itu, pers senantiasa memiliki penilaian dan pandangan yang
positif terhadap semua tindakan dan kebijakan yang diambil pemerintah, termasuk
militer, di dalam penghancuran sisa-sisa PKI dan menghapus jejak-jejak pengaruh
ajaran komunisme dari bumi Indonesia.
Pers dan pemerintah saling bahu-membahu dalam ‘kerja besar’ membela serta
mempertahankan Pancasila dan UUD 1945, disamping mengikis habis seluruh
pengaruh PKI yang sebelumnya sempat mendominasi kehidupan politik di Tanah Air.
Masa-masa itu dapatlah disebut
sebagai masa terjalinnya hubungan yang harmonis antara pers dengan pemerintah.
Pers dan pemerintah tampak seiring dan seiya-sekata dalam berbagai sikap dan
kebijakannya. Pers yang sebelumnya merasa hidup terpenjara dalam sistem
Demokrasi Terpimpin merasa telah menemukan pelindung dalam mengekspresikan
kebebasannya. Pers seakan menemukan kembali dunianya yang hilang. Sementara
pemerintah, terutama kalangan militer yang memiliki peran penting dalam
pemerintahan, merasa telah mendapatkan mitra atau kawan seiring yang kuat dalam
membangun pemerintahan yang terbebas dari pengaruh serta ancaman PKI, dan yang
terpenting semakin memperkokoh peran maupun eksistensinya di pemerintahan.
Sejumlah pengamat dan tokoh pers
nasional menyatakan bahwa tahun-tahun di awal kekuasaan Orde Baru itu merupakan
masa-masa yang sangat menggembirakan dan menyenangkan, atau sering pula disebut
sebagai masa-masa ‘bulan madu’ antara pers dan pemerintah. Dalam masa-masa
‘penuh bahagia’ itu terlihat suatu jalinan hubungan yang sangat harmonis, tidak
terlihat adanya konflik dan perbedaan kepentingan antara pemerintah dengan
pers. Semua terlihat berjalan mulus, lancar dan tanpa persoalan.
Prinsip-prinsip yang tertuang di
dalam Undang-undang Nomor 11 Tahun 1966
itu terlihat berjalan mulus tanpa ganjalan dan hambatan. Kesan yang terlihat
sepintas, pers nasional seakan larut dan hanyut dalam keceriaan serta
keharmonisan suasana ‘bulan madu’ tersebut.
Akan tetapi suasana keharmonisan
‘bulan madu’ antara pers dengan pemerintah itu ternyata tidak berlangsung lama.
Kondisi yang begitu menggembirakan itu hanya sempat berjalan beberapa tahun
saja. Masa-masa ‘bulan madu’ yang penuh kegembiraan dan menyenangkan itu
kemudian terganggu dengan kondisi serta iklim politik yang berkembang menjelang
dan sesudah peristiwa “Malari” 1974 atau dikenal juga dengan sebutan peristiwa
Malapetaka 15 Januari 1974.
Peristiwa Malari yang sempat menggegerkan
tatanan politik di Tanah Air itu berupa aksi demonstrasi besar-besaran
mahasiswa yang menentang kebijakan-kebijakan pemerintah di bidang ekonomi,
terutama dalam penanganan modal asing yang dipandang justru telah
menyesengsarakan rakyat dan memperburuk keadaan perekonimian nasional.
Aksi para mahasiswa itu berbuntut
dengan meletusnya kerusuhan massa yang
memporak-porandakan Jakarta.
Ribuan massa
mengamuk menghancurkan dan membakar bangunan-bangunan gedung dan
kendaraan-kendaraan bermotor yang diproduksi Jepang. Ribuan massa itu seperti mendapat kesempatan dan
peluang untuk menumpahkan rasa kecewa dan sakit hatinya terhadap kondisi
perekonomian yang terjadi saat itu.
Menurut keterangan pemerintah saat
itu, peristiwa Malari 1974 telah mengakibatkan kerugian besar dan kerusakan
yang parah di ibukota Jakarta.
Berdasarkan inventarisasi pemerintah, sedikitnya 144 bangunan gedung rusak dan
hancur, 807 mobil dan 187 sepedamotor produksi Jepang dibakar dan hancur, 160
kilogram emas hilang dijarah, 11 orang tewas, 17 orang menderita luka-luka
berat dan 120 orang menderita luka-luka ringan.
Retaknya hubungan yang semula
harmonis antara pers dengan pemerintah ditandai oleh langkah atau tindakan
pemerintah yang mencabut izin terbit sejumlah suratkabar. Suratkabar yang
dibreidel itu antaralain Harian Indonesia Raya, Pedoman, Abadi, Harian Kami, Ekspres,
The Jakarta Times dan Mingguan Mahasiswa Indonesia. Bahkan sekitar
setahun sebelum peristiwa Malari meletus, pemerintah dalam hal ini Panglima
Kopkamtib telah mencabut sementara izin terbit Harian Sinar Harapan.
Sejak peristiwa Malari\ 1974,
setelah pemerintah melakukan tindakan ‘pembunuhan massal’ terhadap media pers
yang dinilai telah melakukan kebijakan-kebijakan yang bertentangan dengan sikap
dan kebijakan pemerintah itu, hubungan harmonis antara pers dengan pemerintahan
tidak lagi dapat terjalin sebagaimana mestinya.
Andaikata pun ada pihak-pihak yang
merasa menemukan keharmonisan, tetapi sesungguhnya keharmonisan itu hanyalah
keharmonisan yang semua. Yakni, keharmonisan yang diciptakan secara terpaksa,
karena ketiadaan daya untuk menemukan pilihan lain kecuali ‘menerima’ peran
serta campurtangan terhadap keberadaan pers.
Sejak saat itu pula terbentang garis
jarak antara pers dan pemerintah. Sikap saling curiga antara pers dengan
pemerintah pun tidak bisa dihindari kemunculannya. Pers curiga bahwa pemerintah
kembali akan menerapkan kebijakan-kebijakan yang mengekang terhadap eksistensi
kebebasan pers sebagaimana yang sempat dirasakan semasa sistem Demokrasi
Terpimpin. Pers juga mencurigai pemerintah tidak akan konsisten terhadap UU No
11 Tahun 1966, terutama pasal 4 yang menyebutkan: “Terhadap Pers Nasional tidak
dikenakan sensor dan pembreidelan”.
Kekhawatiran dan kecurigaan pers
terhadap sikap pemerintah itu didasarkan para kenyataan bahwa ternyata
pemerintah telah melakukan tindakan pembreidelan atau pencabutan izin terbit
sejumlah media pers setelah meletusnya peristiwa Malari. Hal itu dipandang
sebagai langkah dan kebijakan pemerintah untuk membatasi atau mengekebiri
kebebasan pers.
Sedangkan sebaliknya di lingkungan
dan jajaran pemerintah telah mencurigai pers akan melakukan kebijakan-kebijakan
pemberitaan yang tidak seirama atau seiring dengankebijakan pemerintah dalam
berbagai sektor pembangunan. Bahkan pemerintah telah pula mencurigai kebebasan
pers yang tanpa kendali, karena hal itu cenderung bisa mempengaruhi masyarakat
untuk tidak berpartisipasi sepenuh hati terhadap berbagai kebijakan pembangunan
yang dilakukan pemerintah.
Di tengah-tengah kondisi iklim kecurigaan
seperti itulah seorang tokoh pers di Yogyakarta,
M Wonohito, memperkenalkan sistem Pers Pancasila di tahun 1977. Di tahun itu
buku Teknik Jurnalistik Sistem Pers
Pancasila diterbitkan oleh Departemen Penerangan untuk menjadi buku
pegangan dan acuan masyarakat pers Indonesia dalam mempertegas fungsi
serta perannya sebagai pers pembela dan pendukung Pancasila.
Apa yang dilakukan oleh M Wonohito
(1912 – 1984) yang waktu itu adalah Pemimpin Redaksi Harian Kedaulatan Rakyat dalam memperkenalkan
dan menyebarluaskan sistem Pers Pancasila ternyata tidak sia-sia. Sistem Pers
Pancasila dengan cepat menjadi bahan pembicaraan sekaligus pegangan masyarakat
pers dalam menempatkan dirinya sebagai penyampai informasi serta penggerak
partisipasi masyarakat.
Dengan munculnya sistem Pers
Pancasila itu, pers Indonesia yang masih trauma dengan kebijakan pemerintah
setelah peristiwa Malari 1974 seakan telah menemukan semangat, gairah dan
‘darah’ baru. Sebab dengan sistem Pers Pancasila itu telah ditemukan garis
pijakan yang tepat bagi pers nasional dalam melaksanakan kerja jurnalistiknya
tanpa dihantui kekhawatiran bahwa langkah-langkahnya akan berseberangan dengan
kebijakan-kebijakan pemerintah. Pemerintah sendiripun tampak memberikan
dorongan yang nyata dalam menyebarluaskan sistem Pers Pancasila tersebut.
Keberadaan sistem Pers Pancasila
semakin diperkuat dan dipertegas dengan hasil rumusan Dewan Pers dalam sidang
plenonya ke-25 yang berlangsung pada tanggal 7 dan 8 Desember 1984 di Solo.
Rumusan Dewan Pers itu semakin mempertegas dan memperjelas identitas tentang
apa dan bagaimana sesungguhnya Pers Pancasila itu.
Di dalam rumusan Dewan Pers itu
disebutkan:
-
Pers
Indonesia adalah Pers Pancasila, dalam arti pers yang orientasi, sikap
Dan tingkahlakunya berdasarkan pada nilai-nilai Pancasila
dan Undang-undang Dasar 1945.
-
Pers
Pembangunan adalah Pers Pancasila dalam arti mengamalkan Pancasila
dan Undang-undang Dasar 1945 dalam pembangunan berbagai aspek kehidupan
bermasyarakat, berbangsa dan bernegara, termasuk pembangunan pers itu sendiri.
-
Hakekat
Pers Pancasila adalah pers yang sehat yakni pers yang bebas dan
bertanggungjawab dalam menjalankan fungsinya sebagai penyebar informasi yang
benar dan obyektif, penyalur aspirasi rakyat dan kontrol sosial yang
konstruktif.
-
Melalui
hakekat dan fungsi itu, Pers Pancasila mengembangkan suasana saling percaya
menuju masyarakat terbuka yang demokratis dan bertanggungjawab.
-
Dalam
mengamalkan Pers Pancasila, mekanisme yang dipakai adalah interaksi positif
antara masyarakat, pers dan pemerintah. Dalam hal ini, Dewan Pers berperan
sebagai pengembang mekanisme tersebut.
Penjelasan lebih mendalam mengenai
Pers Pancasila yang dirumuskan Dewan Pers itu telah menjadi topik bahasan utama
dalam seminar tentang upaya pemantapan kedudukan dan peranan Pers Pancasila
yang berlangsung tanggal 19 sampai 21 Februari 1985 di Solo.
Seminar yang diselenggarakan
Departemen Penerangan bersama Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) itu antaralain
telah merumuskan bahwa Pers Indonesia menganut pandangan hidup Pancasila
sebagai landasan pola pikir, pola sikap dan pola perilaku dalam melaksanakan
atau mengaktualkan peran dan kedudukannya sebagai salah satu lembaga
kemasyarakatan di Indonesia. Kemudian demi menunjang keberhasilan tugasnya,
Pers Pancasila berpegang pada kebebasan yang bertanggungjawab dalam menjalankan
fungsinya sebagai penyebar informasi yang benar dan obyektif, penyalur aspirasi
masyarakat, penggerak motivasi masyarakat serta pengawas sosial yang konstruktif.
Disebutkan juga dalam rumusan hasil
seminar di Solo itu bahwa aktualisasi peran Pers Pancasila dimungkinkan apabila
semua pihak yang terlibat dalam interaksi positif, yakni pers, pemerintah dan
masyarakat ikut membina kondisi kerukunan, saling percaya mempercayai,
berpandangan luas, saling menghormati dan kejujuran.
Sejumlah pakar telah pula memberikan
penambahan dan penajaman terhadap bagaimana sesungguhnya sikap dan perilaku
Pers Pancasila. Prof. Dr Selo Soemardjan misalnya, dalam salah satu makalah
seminarnya tentang Pers Pancasila di Yogyakarta pada Februari 1986 antaralain
menyatakan ada tiga hal yang harus dilakukan oleh Pers Pancasila dalam
mengaktualisasikan peran dan fungsinya.
Pertama, pers itu untuk memenuhi
warnanya Pancasila, dapat memilih sumber-sumber berita yang sesuai dengan
filsafatnya itu. Jadi sumber berita dipilih yang cocok dengan filsafat yang
dianut. Kalau tahu sumber berita itu cocok dengan filsafatnya, diambil secara
positif kemudian disebarkan. Bisa juga diambil sumber berita lain yang anti
Pancasila. Dalam hal ini, diambil beritanya, tapi kemudian harus dikomentari
bahwa itu adalah dari sumber yang anti Pancasila.
Kedua, pers itu bisa memilih
berita-berita yang sesuai dengan ideologi atau dengan filsafat Pancasila.
Diambil beritanya, bukan sumbernya saja. Sebab meskipun sumbernya berwarna
Pancasila, berita yang timbul dari padanya mungkin tidak sesuai dengan
Pancasila. Karena itu, berita yang digali itu harus diolah terlebih dahulu,
atau entah diproses dahulu sehingga cocok dengan Pancasila.
Ketiga, dalam menunaikan tugas
sebagai Pers Pancasila dalam negara yang ber-Pancasila, maka pers harus mampu
mengolah dan kemudian menyajikan berita-berita itu sedemikian rupa sehingga
effeknya kepada masyarakat umum atau kepada para pembaca itu selaras, seimbang
dan serasi dengan Pancasila.
Sejak sistem Pers Pancasila
dipertegas eksistensinya oleh Dewan Pers dalam sidang pleno Desember 1984 itu,
maka pemahaman mengenai Pers Pancasila semakin memasyarakat dan menjiwai
perjalanan serta perkembangan pers Indonesia. Akan tetapi, meskipun kemudian
Pers Pancasila dapat memasyarakat dan menjiwai ‘roh’ pers Indonesia, namun pada
kenyataan dan realita pelaksanaannya ternyata tidaklah seirama atau sesuai
dengan hakekat nilai-nilai serta semangat Pers Pancasila itu sendiri.
Peran pemerintah terasa begitu besar
dan kuat dalam menggiring pers nasional untuk membatasi diri dalam memilih
pengertian mengenai hakekat Pers Pancasila yang dinyatakan sebagai pers yang
bebas dan bertanggungjawab. Pers nasional seakan digiring dan dipaksa untuk
tidak memiliki kemampuan dan keberanian menentukan pilihan yang tepat mengenai
pengertian pers yang bebas dan bertanggungjawab tersebut.
Pers nasional dibawa dan digiring ke
posisi untuk senantiasa berpegang teguh pada pemahaman dan pengertian pers yang
bebas dan bertanggungjawab dari sudut pandang atau kacamata pemerintah. Dan,
rumusan Dewan Pers yang menyebutkan bahwa dalam mengamalkan Pers Pancasila
mekanisme yang dipakai adalah interaksi antara masyarakat, pers dan pemerintah,
telah dijadikan senjata, alat atau dalih yang kuat oleh pemerintah untuk
‘memaksa’ pers agar tidak mencari pengertian lain mengenai “pers bebas dan
bertanggungjawab” itu selain dari pemahaman serta pengertian yang digunakan
maupun disebarluaskan pemerintah.
Kondisi seperti ini berlangsung
terus dari tahun ke tahun, sampai akhirnya era reformasi datang dan
menyingkirkan kekuasaan Orde Baru yang berkuasa selama 32 tahun lebih. Meskipun
demikian, dalam kondisi tak berdaya seperti itu masih juga terdapat beberapa
media pers yang mencoba ‘bersuara lantang’ dan berusaha membangunkan kembali
semangat serta idealisme pers sesungguhnya. Akan tetapi ‘tangan-tangan’
pemerintah masih terlalu keras dan kuat untuk dilawan. Pemerintah masih merasa
risih dengan keberanian-keberanian yang dicoba untuk dibangkitkan kembali itu.
Akibatnya, pembreidelan atau pencabutan Surat Izin Usaha Penerbitan Pers
(SIUPP) kembali terjadi. Peristiwa ini terjadi pada bulan Juni 1994 menimpa
tiga media pers, yaitu majalah berita Tempo,
Editor dan tabloid Detik.
Berakhirnya kekuasaan Orde Baru yang ditandai dengan
pengunduran diri Presiden Soeharto dari jabatannya sebagai Presiden Republik
Indonesia pada tanggal 21 Mei 1998 dan kemudian digantikan oleh BJ Habibie yang
sebelumnya adalah Wakil Presiden, telah membawa suasana, nuansa dan iklim baru
bagi perjalanan serta perkembangan pers nasional.
Datangnya era reformasi telah
membangunkan kesadaran bari
bagi pers nasional untuk kembali menemukan jatidirinya sebagai penyebar
informasi yang benar dan obyektif, penyalur aspirasi rakyat dan kontrol sosial
yang konstruktif. Pers nasional yang sebelumnya seakan tidak memiliki kemampuan
dan tak berdaya untuk melepaskan diri dari pengaruh serta campurtangan
pemerintah yang kuat, mendadak menggeliat dan bangkit dari ketidakberdayaannya.
Pers mendapatkan angin yang segar. Angin kebebasan, angin kemerdekaan pers.
Seiring dengan itu, pemerintah yang
tanggap dengan semangat dan angin reformasi yang bertiup kencang dalam waktu
relatif singkat serta cepat melakukan langkah-langkah penyeimbangan. Pemerintah
melalui Departemen Penerangan yang sebelumnya oleh kalangan pers selama
bertahun-tahun dipandang sebagai instansi ‘garang’ dengan cepat mengambil
kebijakan-kebijakan berani, melakukan reformasi di bidang peraturan-peraturan
yang berkaitan dengan pers.
Reformasi di bidang peraturan
mengenai pers itu di antaranya meninjau kembali Peraturan Menteri Penerangan RI
Nomor 01/Per/Men/1984 tentang Surat Izin Usaha Penerbitan Pers (SIUPP) dengan
mengeluarkan peraturan baru yakni Peraturan Menteri Penerangan RI Nomor
01/Per/Menpen/1998 tentang ketentuan-ketentuan Surat Izin Usaha Penerbitan Pers
(SIUPP). Permenpen baru yang ditandatangani Menteri Penerangan Muhammad Yunus
Yosfiah itu telah membuka pintu kemudahan selebar-lebarnya dalam proses
perolehan SIUPP.
Di era reformasi, terlebih lagi
setelah Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 Tentang Pers disahkan oleh Presiden
BJ Habibie pada 23 September 1999, angin segar kebebasan dan kemerdekaan pers
terasa meniup begitu kencang. Pers Pancasila yang selama bertahun-tahun berada
dalam jaring pengertian dan kekuasaan pemerintah, telah menemukan nuansa dan
semangat baru. Nuansa demokrasi dan kemerdekaan pers membuat wajah pers
nasional secara tiba-tiba berubah drastis dan cepat. +++ (sutirman eka ardhana)
Daftar
Pustaka
1. Denis McQuail, Teori Komunikasi Massa (terjemahan),
Erlangga, Jakarta,
1989.
2. Frederick S.
Siebert, Theodore Peterson dan Wilbur Schramm, Four
Theories
of The Press, Urbana: University of Illinois
Press, 1957.
3. Dedy Djamaluddin
Malik, Jalaluddin Rakhmat dan Mohammad Shoelhi
(ed), Komunikasi Internasional, LP3K – PT
Remaja Rosdakarya,
Bandung, 1993.
4. Edward C. Smith, Pembreidelan
Pers Indonesia, terjemahan Atmakusumah, Alex A Rahim dan Arie Wikdjo Broto,
Pustaka Grafitipers, Jakarta, 1983.
5. Tribuana Said dan
DS Moeljanto, Perlawanan Pers Indonesia
BPS
Terhadap
Gerakan PKI, Sinar Harapan, Jakarta, 1983.
6. Tribuana Said, Sejarah
Pers Nasional dan Perkembangan Pers Indonesia,
1988.
7.
Amanat
Sejarah – Dari Pekik Merdeka Hingga Suara Hati Nurani Rakyat, Kedaulatan Rakyat, Yogyakarta,
1996.
8.
Prof Dr Selo Sumardjan, Pers
Dalam Negara Pancasila, makalah Seminar Hari Pers Nasional II, Februari 1986 di Yogyakarta.