Kisah
Kesetiaan Cinta Seorang Selir (1)
Dari
Desa, Menjadi Penari di Keraton
KEHIDUPAN di dalam istana
raja-raja di Jawa, dari dulu hingga kini, sarat dengan pesona dan penuh beragam
cerita atau kisah yang menarik. Termasuk di dalamnya kisah-kisah tentang cinta,
ketulusan kasih sayang, serta tentang pengabdian dan kesetiaan cinta. Di
Keraton Kasunanan Surakarta (kini berada dalam wilayah Propinsi Jawa Tengah)
misalnya, pernah terukir “kisah cinta yang sejati dan mulia” antara seorang
selir bernama Raden Ayu Laksminto Rukmi dengan Sri Susuhunan Paku Buwono X yang
berkuasa di Keraton Surakarta pada tahun 1893 sampai 1939.
Kisah cinta yang menarik dan
mengesankan ini sesungguhnya pada tahun 1990 sudah pernah dimuat sejumlah
media, di antaranya Majalah “Kartini”.
Sungguh teramat mengesankan, betapa indah dan romantisnya kisah kesetiaan cinta
RAy Laksminto Rukmi terhadap Sri Paku Buwono X. Kisah kesetiaan cinta seperti
ini akan tetap abadi dan tak akan lekang sampai kapan pun. Dengan harapan agar
kisahnya bisa dijadikan semacam teladan bagi siapa saja yang menghargai
kesetiaan dan ketulusan cinta, kisah kesetiaan cinta itu dihadirkan kembali
dengan bersumber pada kisah yang pernah ditulis oleh sejumlah media tersebut.
***
Nama kecilnya Sumiatun. Ia lahir
sekitar tahun 1900 pada salah satu desa di wilayah Kabupaten Ngawi, Jawa Timur.
Ayahnya, Raden Mas Partodiharjo, adalah seorang lurah. Sekali pun hanya seorang
lurah, tapi ayahnya masih memiliki hubungan kekeluargaan dengan Yosodipuro,
pujangga kenamaan di Keraton Surakarta.
Pujangga Yosodipuro itu adalah eyangnya. Sedangkan pujangga kenamaan lainnya,
Ronggowarsito, termasuk salah seorang pakdenya.
Meski terlahir sebagai anak lurah,
tapi Sumiatun tetap seorang anak desa yang lugu dan sederhana. Walaupun lugu
dan sederhana, namun sejak kecil kecantikannya tak bisa disembunyikan. Dan,
sejak kecil pula, wajahnya sudah memancarkan aura dan pesona tersendiri. Hanya
orang-orang yang punya daya penglihatan linuwih, yang mampu membaca arti di
balik pancaran aura dan pesona di wajahnya itu.
Salah seorang yang mampu
membacanya adalah Mbah Gowang, seorang lelaki keturunan Cina yang berprofesi
sebagai pedagang keliling. Ketika ia dilahirkan dan warga desa berkumpul di
rumahnya, Mbah Gowang yang sedang berkeliling menawarkan dagangannya ikut pula
singgah. Seperti tamu-tamu yang lain, Mbah Gowang pun ikut melihat wajahnya
yang baru dilahirkan. Sehabis melihat, Mbah Gowang lalu berkata kepada Raden
Mas Partodiharjo, “Mulai sekarang sayangilah bayi ini, jangan sia-siakan
dirinya. Kelak kalau anak ini sudah besar, dia akan mendapat jodoh seorang
raja.” Inilah ramalan Mbah Gowang atas dirinya.
Menjadi Penari Keraton
Ketika usianya mencapai sepuluh
tahun, kecantikan Sumiatun semakin nyata. Pada saat itulah ia dititipkan
ayahnya kepada salah seorang saudaranya yang menjadi pepatih keputren di
Keraton Surakarta.
Saudaranya yang mengurus berbagai kepentingan di Keputren itu adalah KRAy
Sedahmirah Tasikwulan. Ayahnya sengaja
menitipkan dirinya agar kelak bisa menjadi penari di keraton. Impian untuk
menjadi penari keraton itu memang sejak dirinya masih kecil sudah ditanamkan
oleh ayahnya.
Setelah tinggal di lingkungan keraton, impiannya
untuk menjadi penari keraton pun terwujud. Sumiatun memang benar-benar berbakat
menjadi penari. Dalam waktu relatif singkat, ia sudah menunjukkan kemampuannya
yang luar biasa dalam menguasai beragam bentuk tarian yang ada di dalam
keraton. Keterampilannya dalam menari, ternyata diam-diam senantiasa
diperhatikan oleh Sri Paku Buwono X. Sehingga dalam usianya yang relatif masih
sangat muda, belum 17 tahun, ia sudah sering diikutsertakan Sri Paku Buwono X
dalam pentas tarian keraton di kota-kota besar lainnya, misalnya menari di
Istana Gubernur Jenderal Hindia Belanda di Batavia (Jakarta).
Ketika ia mengalami menstruasi atau haid yang
pertama, perhatian Sri Paku Buwono X kepadanya semakin bertambah. Karena ia
tidak muncul saat latihan menari, Sri Susuhunan langsung menanyakannya. Begitu
diberitahu bahwa ia sedang haid yang pertama, Susuhunan langsung memerintahkan
untuk membuat acara pesta syukuran menyambut datangnya haid pertama Sumiyatun
tersebut.
(Sutirman Eka Ardhana/bersambung)
Terima kasih sekali, pak Eka Ardhana! Saya sangat senang dan ingin sekali mengetahui kisah para penari keraton (misalnya para Bedhaya di kraton Ngayogyakarta Hadiningrat). Kalau saya tidak keliru, salah satu penari bedhaya di jaman Sultan Hamengku Buwono IX adalah ibunda dari Mas Pandoyo. Akan sangat menarik apabila putera-puteri para penari kerajaan jaman dahulu dapat menceritakan kembali kisah ibu-ibu mereka tatkala menjadi penari di istana, bukan?
BalasHapusMohon maaf, ada sedikit koreksi, maksud saya ibunda dari mas Bambang Paningron.
BalasHapusLanjutanya?
BalasHapus