Kisah Cinta Hartini dengan Bung
Karno (1):
Berawal dari Pertanyaan “Siapa Namamu?”
SUKARNO, proklamator Kemerdekaan RI dan Presiden pertama Republik
Indonesia yang populer dengan panggilan Bung Karno itu, tidak hanya seorang
Bapak Bangsa dan negarawan sejati, tapi juga dikenal sebagai seorang “pecinta
agung”. Bung Karno adalah seorang pengagum dan pecinta keindahan. Karena itulah barangkali, kisah-kisah cinta
yang menarik selalu mewarnai sepanjang perjalanan hidup Bung Karno. Salah satu
kisah cintanya yang menarik dan penuh kesan, adalah kisah cintanya dengan
Hartini.
Siapakah gerangan Hartini, perempuan yang berhasil menarik hati Bung
Karno itu? Sesungguhnya, tidak ada catatan yang istimewa bagi diri seorang
Hartini kecil. Ia lahir dan tumbuh di tengah-tengah keluarga yang sederhana.
Ayahnya bernama Osan, seorang pegawai biasa pada Departemen Kehutanan. Masa
kecilnya dihabiskan di Malang.
Setamat Sekolah Rakyat (sekarang SD), ia diangkat menjadi anak angkat oleh
keluarga Oesman yang tinggal di Bandung.
Di Bandung, Hartini melanjutkan sekolahnya di Sekolah Kepandaian Puteri
(SKP). Sejak menjadi siswi SKP, kecantikan Hartini mulai tampak nyata. Apalagi
ia selalu tampak luwes bila berdandan dan mengenakan pakaian apa pun. Satu hal
lagi, gadis yang selalu murah senyum ini tergolong pintar dalam bergaul. Ia tak
pernah memilih-milih dalam berkawan atau bergaul. Karena itulah, ia termasuk
gadis yang menonjol di antara sesama kawan-kawan sekolahnya.
Tapi kemudian, pada suatu hari kawan-kawan sebayanya dikejutkan dengan
berita Hartini menikah. Banyak teman-temannya yang tak percaya dengan berita
itu. Padahal usianya waktu itu masih sangat muda. Apalagi, Hartini tak pernah
bercerita tentang lelaki yang menjadi tunangannya, atau lelaki yang dicintai
maupun yang dipilih untuk menjadi suaminya itu. Bagi teman-temannya, nama
lelaki yang menjadi suami Hartini itu terasa asing. Dan, lelaki yang
menikahinya itu bernama Suwondo.
Ia pun kemudian tinggal bersama suaminya di Salatiga. Demikianlah, sejak
itu hari-hari Hartini selalu berkutat dengan kesibukan rumahtangganya. Namun,
beberapa tahun kemudian, setelah pernikahan itu membuahkan lima orang anak, badai pun melanda keutuhan
rumahtangganya. Entah apa penyebabnya. Badai itu ternyata terlalu kencang,
hingga perkawinannya dengan Suwondo tak dapat dipertahankan lagi. Mereka
bercerai.
Ketika perceraian itu terjadi, usia Hartini masih terbilang muda, 28
tahun. Sekalipun berstatus janda, tapi pesona kecantikannya masih tetap
bercahaya. Bahkan, dalam penampilannya sehari-hari, Hartini tak hanya terlihat
cantik dan luwes, tapi anggun serta matang. Pesona itu membuat banyak lelaki
menaruh perhatian dan kagum kepadanya. Tidak sedikit lelaki yang mencoba
mengambil hatinya, tapi Hartini masih tetap bertahan dengan kesendiriannya.
Sampai kemudian, suatu hari ia bertemu dengan seorang lelaki yang
terhormat dan terpandang, lelaki yang dikagumi segenap rakyat Indonesia.
Lelaki yang kemudian merubah perjalanan hidupnya, dari seorang perempuan biasa
menjadi perempuan terpandang, dihormati dan isteri seorang presiden. Lelaki itu
bernama Sukarno, Presiden Republik Indonesia.
Jumpa di Salatiga
Pertemuan pertamanya dengan Bung Karno terjadi pada tahun 1952. Ketika
itu, dalam perjalanan menuju Yogyakarta untuk
meresmikan Masjid Syuhada, Bung Karno terlebih dulu singgah di Salatiga.
Meskipun hanya singgah sebentar, pemerintah dan warga setempat menyambut
kedatangan presidennya itu dengan sukacita. Bung Karno dan rombongannya dijamu
makan siang. Dan, Hartini termasuk di antara ibu-ibu yang menghindangkan
hidangan makan siang untuk Bung Karno tersebut.
Seusai menikmati hidangan makan siang, Bung Karno lalu menyalami semua
orang yang hadir. Termasuk para wanita atau ibu-ibu yang menyiapkan hidangan
makan siang itu. Kesempatan untuk berjabatan tangan dengan seorang Presiden
yang dikaguminya memang sudah lama ditunggu-tunggu. Karenanya, Hartini tidak
mensia-siakan kesempatan berharga itu.
Bersama ibu-ibu lainnya, ia pun memanfaatkan kesempatan bertemu dan
menjabat tangan Presiden dengan sebaik-baiknya. Dengan gembira dan bahagia
mereka, termasuk Hartini, menunggu kesempatan yang berharga itu.
Kegembiraan
menggumpal di dada Hartini ketika untuk pertamakalinya ia berjabatan tangan
dengan Bung Karno. Berjabatan tangan dengan seorang Presiden yang dihormati dan
dikagumi segenap rakyat. Betapa tidak. Kesempatan untuk bertemu, bertatap muka
dan bersalaman dengan Presiden bukanlah hal yang mudah. Tidak semua orang bisa
mendapatkan kesempatan yang istimewa seperti itu.
Dalam kegembiraan itu, dada Hartini pun tiba-tiba tergetar dan berdebar,
manakala menerima tatapan dan senyuman dari Bung Karno. Tatapan dan senyuman
dari seorang lelaki tampan, berwibawa dan dihormati. Dan, debaran di dadanya
semakin mengencang, ketika saat bersalaman itu di luar dugaan tiba-tiba Bung Karno
menanyakan namanya. “Siapa namamu?” inilah pertanyaan yang singkat dari Bung
Karno, sambil tetap menggenggam tangannya.
“Hartini,” jawabnya terbata-bata dan tersipu.
Kekaguman terlihat jelas di wajah Bung Karno saat mendengar jawaban itu.
Bung Karno pun kemudian mengembangkan senyumnya. Senyum yang khas. Senyum yang
menebarkan pesona.
Ada
perasaan bahagia, gembira dan bangga di dada Hartini, mendapat pertanyaan
seperti itu. Mendapat pertanyaan dari seorang Presiden yang tidak saja
dihormati dan dicintai rakyatnya, tapi juga disegani di dunia internasional.
Hartini pun merasa bahwa tatapan, senyuman dan pertanyaan Bung Karno kepadanya
itu seperti mengandung sejumlah arti, makna dan isyarat. Tetapi, sampai
pertemuan itu usai, dan Bung Karno melanjutkan perjalanannya menuju Yogyakarta,
ia tidak juga menemukan arti, makna dan isyarat di balik semuanya itu.
Itulah pertemuan pertamanya dengan Bung Karno. Meskipun singkat dan hanya
sekilas waktu, tapi cukup mengesankan baginya. Pertemuan pertama itu selalu
dikenangnya. Jumpa pertama di Salatiga itu selalu mengusik hatinya. Senyum dan
tatapan penuh pesona dari Bung Karno itu seakan tak pernah lepas dari
ingatannya. Ia pun selalu berharap agar dapat bertemu lagi dengan Bung Karno,
sehingga Presiden yang dikaguminya itu akan bertanya banyak hal lagi pada
dirinya, tak hanya sekadar bertanya tentang nama. (Sutirman Eka Ardhana/bersambung)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar