Kisah Cinta Hartini dengan Bung Karno (2)
Pertemuan Kedua Terjadi di Candi Prambanan
HARAPAN Hartini ternyata tidak sia-sia. Keinginannya untuk bertemu lagi
dengan Bung Karno terwujud. Tak berapa lama kemudian, tepatnya di tahun 1953,
pertemuan kedua pun terjadi. Ketika itu Bung Karno, dalam kapasitasnya sebagai Presiden RI, meresmikan
pembukaan panggung terbuka Ramayana di Candi Prambanan, Yogyakarta.
Hartini saat itu juga berada di tengah-tengah antusiasnya warga sekitar
menyaksikan peresmian panggung Ramayana tersebut.
Kembali dada Hartini bergetar ketika berjabatan-tangan untuk kedua
kalinya dengan Bung Karno. Seperti pertemuan yang pertama di Salatiga tahun
1952, Bung Karno tersenyum ramah, dan penuh kesantunan saat menjabat tangannya.
Dan, pada pertemuan kedua itu, Bung Karno tak lagi menanyakan namanya. Kali
ini, Bung Karno bertanya dengan penuh perhatian tentang kabar dan keadaannya.
Dengan tersipu dan penuh hormat, Hartini mencoba menjawab pertanyaan-pertanyaan
Bung Karno itu dengan apa adanya.
Tidak seperti pertemuan pertama, pada pertemuan kedua di Candi Prambanan
keduanya terlibat pembicaraan yang agak sedikit leluasa. Bung Karno tak hanya
bertanya, tapi juga bercerita banyak hal kepada Hartini. Bagi Hartini,
pertemuan dan perbincangannya dengan Bung Karno saat itu sungguh sangat
berkesan. Ia benar-benar merasa tersanjung, karena sebagai rakyat biasa, ia
merasa telah diperhatikan oleh seorang Presiden yang dihormati, dipuja dan
dikagumi rakyat. Tidak semua prempuan punya kesempatan seperti ini, pikirnya.
Kesempatan untuk bertemu-muka, berjabattangan dan berbincang-bincang agak lama
dengan seorang Presiden.
Sepulang dari Candi Prambanan, Hartini seakan tak pernah berhenti
mengingat pertemuan keduanya dengan Bung Karno itu. Pertemuan itu sungguh
berkesan dalam hatinya. Pertemuan itu sangat menyenangkan. Entah mengapa,
setelah pertemuan itu, semangat dan gairah kehidupannya terasa begitu
menyala-nyala. Senyum dan tatapan Bung Karno itu telah menggairahkan jiwa dan
semangat hidupnya. Meski pun begitu terbersit juga perasaan ragu dan khawatir
di dalam hatinya. Apakah Bung Karno juga mengingat-ingat pertemuan kedua di
Candi Prambanan itu? Apakah dadanya juga bergetar saat bertemu dan
berjabattangan lagi? Apakah ia juga mengharapkan pertemuan-pertemuan
berikutnya? Beruntun tanya muncul di antara gelisah hatinya.
Sejak pertemuan kedua itu, Hartini memang tidak bisa mengingkari perasaan
hatinya bahwa bahwa ia menjadi sering memikirkan Bung Karno. Bahkan ia pun
sering melamun sendiri, membayangkan
wajah Bung Karno, membayangkan senyumnya yang penuh pesona, anggun dan
berwibawa. Membayangkan tatap matanya yang menggetarkan dada. Tatap mata
seorang lelaki tampan dan dewasa. Lelaki yang tahu betul bagaimana caranya
menghormati dan menghargai seorang perempuan. Serta membayangkan bagaimana
hangatnya pertemuan serta percakapan saat itu. Tetapi Hartini tetap sadar,
bahwa lelaki yang dikaguminya itu, lelaki yang sering muncul dalam lamunannya
dan meresahkan hatinya itu bukanlah lelaki sembarangan. Lelaki itu adalah
seorang Presiden, seorang Kepala. Seseorang yang sangag dihormati dan disegani.
Terlebih dari itu semua, lelaki itu juga sudah beristeri.
Menyadari dirinya hanyalah seorang perempuan biasa yang berstatus janda,
dan tinggal di kota kecil Salatiga, jauh
dari keramaian ibukota Jakarta, Hartini sempat berpikir untuk tak lagi
memikirkan dan mengkhayalkan Bung Karno. Ia khawatir telah melakukan sesuatu
yang sia-sia, memikirkan seseorang yang ‘jauh dari jangkauan tangan’. Tetapi,
setiap kali ia berusaha untuk melupakan , setiap kali itu pula senyum dan tatap
muka Bung Karno kian membayanginya. Seakan senyum dan tatap mata Bung Karno itu
hadir di setiap desah dan detak
langkahnya.
Berulangkali Hartini bertanya dalam hati, apa yang sebenarnya sedang
terjadi dalam dirinya? Apakah ia sedang terbakar gelora cinta? Apakah ia sedang
jatuih cinta? Jatuh cinta dengan seorang lelaki terhormat dan terpandang?
Apakah ini bukan hanya mimpi? Bukan hanya angan-angan dan khayalan dari seorang
perempuan biasa? Berhari-hari Hartini mencoba mencari jawaban dari beruntun
tanya yang ada dalam hatinya itu. Namun berhari-hari pula ia dicekam rasa takut
untuk mengetahui jawaban itu. Karena sesungguhnya, jawaban itu sudah ada di
dalam hati kecilnya. Ya, di dalam hati kecilnya sudah ada jawaban itu. Ia
memang sedang jatuh cinta. Jatuh cinta kepada seorang Presiden. Jawaban ini
menakutkannya. Merisaukan hatinya. Karena ia sadar, jawaban itu rasanya sulit
untuk diwujudkan. Jawaban itu hanya sekadar mimpi dan angan-angan belaka.
Terima Sepucuk Surat
Akan
tetapi kegalauan hatinya tak berlangsung lama. Suatu hari ia dikejutkan dengan
kedatangan seorang temannya. Sesungguhnya bukan kedatangan temannya itu yang
mengejutkan, melainkan sesuatu yang dibawa oleh temannya itu yang telah membuat
ia terkejut dan tergetar. Temannya itu membawa sesuatu, titipan dari seseorang
yang terhormat dan terpandang di negeri ini.
“Terhormat dan terpandang di negeri ini? Siapa?” Hartini bertanya dengan
dada berdebar.
“Dari Bung Karno. Dari Presiden kita.”
Debaran di dada Hartini semakin mengencang mendengar jawaban itu.
“Apa titipannya?”Hartini tak sabar lagi untuk mengetahui apa yang
dititipkan Bung Karno lewat temannya itu.
“Sepucuk surat.”
“Surat?! Surat dari Bung Karno?!”
Hartini seperti tak percaya mendengar apa yang dikatakan temannya itu.
Tanpa sempat lagi berpikir, bagaimana caranya sampai surat
itu dititipkan Bung Karno lewat temannya, Hartini segera meminta titipan surat itu karena sudah
tak sabar lagi untuk segera mengetahui isinya. Tapi, apa isinya?
Dengan dada berdebar dan tangan tergetar, Hartini membaca surat dari Bung Karno
itu. Kata-kata yang tertera di dalam surat
itu tak banyak. Hanya dua kalimat saja.
-Ketika aku melihatmu untuk kali
pertama, hatiku bergetar. Mungkin kau pun mempunyai perasaan yang sama..—
Di bawah kata-kata itu tidak tertulis nama Sukarno atau Bung Karno.
Melainkan tertulis nama Srihana. Srihana, inilah nama samaran yang digunakan
Bung Karno ketika menulis surat
pertamanya itu kepada Hartini. Semula, Hartini memang sempat ragu dengan
kebenaran surat
itu. Tetapi setelah diberi p[enjelasan dan diyakinkan oleh temannya itu,
barulah ia meyakininya. Dijelaskan oleh temannya, Bung Karno memang terpaksa
menggunakan nama samaran Srihana itu, demi menjaga kewibawaannya sebagai
seorang Presiden.
Betapa leganya, betapa bahagianya hati Hartini menerima surat yang pertama dari Bung Karno itu. Surat dari seorang lelaki
tampan dan terhormat, yang selama beberapa waktu selalu membayangi tidurnya.
Kata-kata di dalam surat
itu bagaikan taburan berjuta-juta mutiara, dan berjuta warna-warni bunga yang
memenuhi ke seluruh hamparan hatinya. Surat
itu sekaligus sebagai jawaban atas beruntun tanya dan keragiuan serta
kegelisahannya selama ini. Ternyata ia tidak hanya berkhyalan sendiri. Tidak
hanya berangan-angan sendiri. Tidak hanya berdebar dan tergetar sendiri.
Perasaan itu juga dirasakan oleh Bung Karno. Presiden itu juga berdebar dan
tergetar, di saat bertemu, bertatap muka dan berjabattangan.
Tanpa sadar, air mata gembira dan keharuan menetes di kelopak matanya.
Ya, perempuan mana yang tak tersanjung dan terharu menerima sepucuk surat bersisi kata-kata
cinta yang menggetarkan dari seorang Presiden iitu. (Sutirman
Eka Ardhana)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar