Kisah Cinta Hartini dengan Bung Karno (3-habis)
Mau Dinikah, Asalkan Bu
Fat Tetap First Lady
SEPUCUK surat
cinta yang sederhana dan singkat itu ternyata punya arti yang sangat besar bagi
perjalanan hidup Hartini. Surat
cinta dari Bung Karno tersebut telah merubah perjalanan hidupnya. Semenjak
menerima surat
cinta itu, hubungan Hartini dengan Bung Karno pun menjadi semakin dekat, dan
kian sulit terpisahkan. Pertemuan-pertemuan berikutnya pun terjadi dalam
berbagai kesempatan. Innisiatif pertemuan-pertemuan itu biasanya datang dari
Bung Karno. Bila ingin bertemu, lewat berbagai jalur Bung Karno terlebih dulu
mengontak ke Hartini.
Misalnya, ketika Bung Karno berada di Semarang,
Hartini pun berangkat ke Semarang
untuk menemuinya. Selain itu ia juga beberapa kali berangkat ke Jakarta untuk bertemu
dengan Bung Karno. Setelah beberapa kali pertemuan itu, Hartini memang tidak
bisa lagi membantah kata hatinya yang memang benar-benar telah jatuh hati
kepada Sang Presiden. Sehingga ketika Bung Karno mengutarakan keinginan untuk
menikahinya, Hartini tak mampu menolak.
Cinta adalah sesuatu yang sangat mendapat tempat berharga di hati Bung
Karno. Atas dasar cinta itu pula Bung Karno kemudian menikahi Hartini di tahun
1953. Dan, atas nama cinta pula, Hartini menyatakan kesediaannya untuk menjadi
isteri Bung Karno. Pernikahan itu
berlangsung secara sederhana di Istana Cipanas, Bogor, pada 7 Juli 1953. Keputusan Hartini
yang bersedia menikah dengan Bung Karno yang sudah beristeri itu bukanlah
diambil tanpa pertimbangan dan syarat-syarat tertentu. Sebelum mengatakan
setuju dengan ‘lamaran’ Bung Karno, Hartini sudah terlebih dulu memikirkannya
berhari-hari, disamping meminta pertimbangan dan restu dari orangtuanya.
Hartini sadar sepenuhnya, bahwa disamping Bung Karno sudah ada seorang
first lady, seorang ibu negara, yakni Ibu Fatmawati. Atas pertimbangan itu,
Hartini pun telah mengajukan syarat yang harus dipenuhi oleh Bung Karno bila
tetap ingin menikahinya. Syaratnya, ia bersedia dinikahi asalkan Bung Karno
tidak menceraikan isterinya, Fatmawati. “Biarkan Bu Fatmawati tetap menjadi
first lady,” pinta Hartini kepada Bung Karno.
Permintaan itu disanggupi Bung Karno. Sekalipun Fatmawati kecewa dengan
perkawinan itu dan kemudian meninggalkan istana, namun kedudukannya sebagai
first lady tetap terjaga.
Langkah Hartini untuk menjadi isteri seorang Presiden dan menghuni istana
kepresidenan di Bogor
tidaklah mudah. Pernikahannya dengan Bung Karno telah disambut dengan protes
dan demonstrasi oleh banyak organisasi kaum perempuan waktu itu. Banyak
organisasi kaum perempuan yang mencela keputusan Bung Karno menikahi Hartini
tersebut. Bahkan Ibu Fatmawati meninggalkan istana sebagai ungkapan rasa
kekecewaannya dengan pernikahan itu. Media-media pers oposisi menjadikan
pernikahan Hartini dengan Bung Karno itu
sebagai obyek pemberitaan yang tendensius dan menyudutkan. Tapi Bung Karno
tidak menyurutkan langkah. Cintanya yang begitu besar kepada Hartini telah
dijadikannya sebagai benteng pertahanan dalam menghadapi segala kecaman dan
cacimaki yang tertuju kepadanya.
“Kalau sekiranya demonstrasi ini menentang kebijaksanaan negara, aku
segera mengambil tindakan. Akan tetapi ini ditujukan kepadaku pribadi. Sekali
pun menyakitkan hati dan menyebabkan kemarahanku, aku tidak berbuat apa-apa.
Aku tidak menyuruh mereka supaya tutup mulut, bahkan aku berusaha menahan
perasaan supaya tidak melukai hati mereka di hari-hari selanjutnya,” ujar Bung
Karno menanggapi aksi protes itu.
Ingin tahu apa alasan Bung Karno menikahi Hartini?
“Dan mengapa aku mengawini Hartini? Alasannya sederhana saja. Alasan
pokok yang telah berlaku sejak permulaan zaman yang akan tetap berlaku jauh
sesudah aku tidak ada lagi; aku bertemu dengan Hartini. Aku jatuh cinta
kepadanya. Dan percintaan kami adalah begitu romantis, sehingga orang dapat
menulis sebuah buku tersendiri mengenai hal,” jelas Bung Karno seperti
dituturkannya dalam buku “Bung Karno Penyambung Lidah Rakyat Indonesia” yang ditulis Cindy
Adams.
Setia sampai Akhir
Sebagai seorang perempuan Jawa yang sejak kecil telah mendapatkan
pelajaran dam pemahaman yang dalam tentang tatanilai serta tatakrama Jawa ,
khususnya yang berhubungan dengan tatacara bagaimana seorang isteri berbakti
kepada suaminya, Hartini benar-benar
mampu menempatkan keberadaannya sebagai isteri seorang Presiden. Kelemah-lembutan,
kesabaran dan ketelatenan,merupakan tiga hal yang selalu dikedepankan Hartini
dalam hari-harinya mendampingi Bung Karno. Dengan kata lain, setiap kali
bersama dengan Bung Karno, ia selalu menunjukkan sikap lemah-lembut, penuh
kesabaran serta penuh rasa perhatian yang sungguh-sungguh. Pernikahannya dengan
Bung Karno itu telah menghadirkan dua orang ‘buah cinta’ yakni Bayu
Soekarnoputra dan Taufan Soekarnoputra.
Sebagai seorang lelaki yang romantis, Bung Karno merupakan tipe lelaki
yang sangat suka dimanja dan disayang oleh perempuan. Karena itulah, sikap
kelemah-lembutan, kesabaran dan ketelatenan yang ditunjukkan Hartini itu
menjadi begitu berkesan di dalam hati Bung Karno. Dan, semua itu semakin
mempertebal cinta serta kasih sayang Bung Karno kepada Hartini. Bahkan
kepintaran Hartini dalam bergaul dengan siapa saja, telah menyebabkan ia selalu
diperkenalkan Bung Karno kepada tamu-tamunya, atau tamu-tamu negara yang
berkunjung ke Istana Bogor, tempat Hartini tinggal.
Mencintai dan menjadi isteri seorang Presiden yang tampan dan pengagum
keindahan serta kecantikan perempuan bukanlah sesuatu yang mudah. Untuk
menjalani hari-hari disamping seorang tokoh seperti Bung Karno, tidak saja
dibutuhkan sikap kesabaran yang tinggi, dan keikhlasan yang dalam, juga
diperlukan ketegaran jiwa yang besar.
Semua itu dilakukan Hartini dengan jiwa yang ikhlas dan kesetiaan cinta
yang besar. Kesetiaan serta perhatian yang besar dari Hartini kepada Bung Karno
tak pernah surut barang sejengkal pun.
Hartini tetap mempertahankan kesetiaan cintanya kepada Bung Karno, baik
di masa-masa jaya maupun di masa-masa suram. Di masa-masa sulit, di masa-masa
Bung Karno mulai ‘diasingkan’ dari percaturan politik, Hartini masih tetap
setia bersama Bung Karno. Dan, ia masih tetap setia mencintai Bung Karno,
sampai Sang Proklamator itu menghadap ke Al-Khalik pada 21 Juni 1970 setelah
menderita sakit beberapa saat. Cinta dan
kesetiaannya kepada Bung Karno itu pun dibawa Hartini sampai akhir hayatnya
pada 12 Maret 2002 lalu. (Sutirman Eka
Ardhana/ dari berbagai sumber)