Kisah Kesetiaan Cinta Seorang Selir (5-Habis)
Setahun Menunggui Makam
Sri Paku Buwono X
SEMENJAK menjadi garwo ampil atau selir, satu hal yang ditakutkan dan
tidak diinginkan oleh RAy Laksminto Rumi adalah berpisah dengan Sri Susuhunan
Paku Buwono X. Sekalipun dirinya hanyalah seorang garwo ampil, tapi rasa cinta
dan kasih serta pengabdiannya kepada Susuhunan tidaklah kalah dengan
Permaisuri. Ia sangat mencintai dan mengasihi Sang Raja, yang sekaligus juga
suaminya itu. Karena itulah ia sama sekali tidak ingin berpisah atau jauh dari
keberadaan Susuhunan.
Namun suatu hari hal yang ditakutkannya itu terjadi. Hal itu bermula
ketika suatu pagi Susuhunan tidak keluar dari kamar peraduannya. Padahal,
sebagaimana pagi-pagi biasanya, RAy Laksminto Rukmi sudah mempersiapkan segala
sesuatu perlengkapan mandi Susuhunan. Bahkan, sejak pagi lagi ia sudah menunggu
di dekat kamar mandi, seperti yang dilakukannya setiap pagi.
Ada apa
gerangan? Kenapa Sinuwun tidak keluar dari kamarnya? Apakah Sinuwun sakit? Atau
apa? Berbagai pertanyaan seperti berkecamuk di hati RAy Laksminto. Tapi
mendadak ia ingat dengan apa yang dikatakan Susuhunan saat bertemu terakhir
sehari sebelumnya. “Aku tidak mau diganggu selama tujuh hari. Jangan temui aku.
Jangan layani aku. Biarkan aku sendiri,” kata-kata ini yang diucapkan Susuhunan
kepadanya. Ada
apa di balik kata-kata itu?
Berhari-hari Susuhunan berada di kamar peraduannya, ditemani Sang
Permaisuri. Berhari-hari itu pula RAy Laksminto Rukmi didera perasaan rindu
ingin bertemu, dan ingin memandang wajah Susuhunan. Dan, berhari-hari itu pula
hatinya dicekam rasa gelisah serta resah. Serta berhari-hari pula beruntun
tanya dalam hatinya tak kunjung terjawabkan. Mengapa? Mengapa Sinuwun tak juga
kunjung keluar dari kamarnya? Mengapa hanya Permaisuri yang menungguinya?
Jawaban dari pertanyaan itu baru diperoleh RAy Laksminto ketika pada hari
ketujuh ia dipanggil untuk masuk ke dalam kamar Susuhunan. Begitu dipanggil,
tanpa membuang waktu barang sedetik pun ia langsung bergegas menuju ke kamar
Susuhunan. Begitu terkejut dan terharu hatinya ketika melihat kondisi Susuhunan
yang terbaring lemah di atas peraduannya. Sang Raja, yang juga suaminya itu,
terbaring sakit. Dalam waktu yang singkat, penyakit itu telah menggerogoti
kegagahan tubuh Susuhunan.
Dengan suara pelan Susuhunan menyuruhnya untuk mendekat. Dengan rasa
pedih yang dalam, dan air mata yang tertahan, ia mendekat. Ketika itulah,
dengan suara lirih Susuhunan berkata kepadanya, “Aku kok sudah dijemput. Waktuku
sudah tiba. Tapi, aku belum bisa membalas kebaikanmu. Aku tetap akan menjagamu
dan melindungimu selama hidupmu.”
Mendengar kata-kata Susuhunan seperti itu, ingin rasanya RAy Laksminto
Rukmi menjerit dan menangis sekeras-kerasnya. Kata-kata yang diucapkan
Susuhunan itu penuh dengan isyarat, penuh dengan tanda-tanda. Kata-kata
Susuhunan itu sebagai pertanda bahwa hal yang sangat ditakutkannya yakni
berpisah dengan Susuhunan akan tiba. Tetes air mata pun mengalir di pipinya.
Tapi, dengan suara tertahan, Susuhunan masih sempat meminta agar dirinya tidak
menangis.
Susuhunan Wafat
Allah benar-benar menginginkan Susuhunan pulang keharibaan-Nya. Susuhunan
wafat. Seluruh penghuni Keraton Surakarta dan segenap rakyatnya berduka.
Permaisuri Gusti Kanjeng Ratu Hemas, serta RAy Laksminto Rukmi dan para garwo
ampil lainnya berduka. Semua meneteskan air mata. Semua meratap. Semua
bersedih. Sang Raja, pemimpin yang disegani dan dihormati itu telah pulang ke
kehidupan yang abadi. Akan halnya RAy Laksminto Rukmi, sekalipun kepedihan
dalam hatinya tak mampu dilukiskan dengan kata-kata, tapi ia tetap mencoba
bertahan tidak menangis. Karena itulah pesan dan permintaan terakhir Susuhunan
kepadanya, yakni jangan menangis.
Hampir semua penghuni Keraton Surakarta
mengantarkan Susuhunan ke tempat peristirahatannya yang terakhir di komplek
pemakaman raja-raja Mataram di Imogiri, Yogyakarta.
RAy Laksminto berusaha untuk tetap tegar, tetap tabah, ketika melihat jenazah
Susuhunan diusung ke tempat pemakaman, meskipun sesungguhnya hatinya sangat
berduka, dan tersayat perih.
Semenjak Susuhunan dimakamkan, RAy Laksminto Rukmi menjalani hari-hari
dalam kesunyian dan kerinduan. Sekalipun ia berada di dalam lingkungan Keraton,
tapi ia merasakan bagai tinggal di tengah-tengah hamparan kesunyian yang
panjang dan luas. Hari-harinya pun dibalut rasa rindu yang dalam kepada
Susuhunan. Rindu menatap wajahnya. Rindu mendengar kata-kata Susuhunan yang
berwibawa. Rindu mendampingi Susuhunan, seperti manakala Susuhunan tak bisa
tidur di malam hari.
Tak mampu menahan desakan rasa rindunya, beberapa hari setelah pemakaman,
RAy Laksminto Rukmi berangkat lagi ke Imogiri untuk menziarahi makam Susuhunan.
Begitu sampai, ia langsung duduk bersimpuh dan bersujud di depan pusara
Susuhunan. Ia berdoa sekaligus memasrahkan diri. Seakan-akan ia sedang menanti
perintah atau titah dari Susuhunan yang sudah terbaring di pemakaman Imogiri
yang sunyi dan teduh itu.
Ketika berada di depan pusara itulah, kembali membayang berbagai
peristiwa manis dan penuh kesan yang dialaminya semenjak ia masuk ke dalam
kehidupan Keraton. Ia ingat bagaimana Susuhunan selalu memberikan perhatian dan
memujinya, manakala menyaksikannya menari bersama para penari Keraton lainnya.
Dan, peristiwa paling berkesan dalam hidupnya yaitu saat menerima surat dari Susuhunan yang
menetapkan dirinya menjadi salah seorang garwo ampil, itupun kembali membayang.
RAy Laksminto Rukmi terpekur. Ia menyadari betapa besar perhatian yang
telah diberikan Susuhunan kepadanya. Namun, ia menyadari belum bisa melakukan apa-apa
untuk membalas semua perhatian serta curahan kasih sayang dari Susuhunan itu.
Tiba-tiba terbersit keinginannya untuk membalas semua perhatian dan kebaikan
itu dengan tinggal atau menunggui makam Susuhunan di Imogoro selama setahun.
Keinginan itu benar-benar dijalankannya. Dengan hati yang bulat, RAy
Laksminto Rukmi ingin menunjukkan bakti dan pengabdiannya kepada Susuhunan
dengan menunggui makam Susuhunan selama setahun. Betapa mulya hatinya, dan
betapa besar kesetiaan cintanya kepada Susuhunan, sehingga ia rela tinggal
dalam kesunyian perbukitan Imogiri, menunggui makam Susuhunan Paku Buwono
X.
(sutirman eka ardhana/kar)
Bagaimana kelanjutan kisah beliau pak.? Apakah beliau masih hidup sekarang ini? Dimana beliau dimakamkan?
BalasHapusSudah Meninggal dan Dimakamkan di Sarean Pengging Boyolali, 1 makam dengan R.Ng.Yosodipuro
Hapus