MK: SINEMATOGRAFI
Pertemuan 3
SEJARAH PERFILMAN INDONESIA
(I)
PERJALANAN
dan perkembangan dunia perfilman di tanah air kita menarik untuk
disimak. Sesungguhnya sejarah pengenalan seni hiburan yang populer
disebut film ini di Indonesia tidak berjarak terlalu jauh dengan yang
berlangsung di Barat (Eropa dan Amerika). Bahkan bangsa Indonesia
(Hindia Belanda) lebih dulu mengenal dunia pertunjukan film dibandingkan
dengan Italia.
Kemunculan
atau kelahiran bioskop pertama di dunia terjadi pada 28 Desember 1895
di Paris. Ketika itu tempat yang dijadikan bioskop untuk memutar film
tersebut adalah sebuah kafe di salah satu ruang bawah tanah. Budaya
menonton film dengan membeli karcis atau tiket masuk diperkenalkan pada
waktu yang sama. Sepuluh tahun kemudian, tepatnya di tahun 1905, tempat
pemutaran film (bioskop) bermunculan dan berkembang di Amerika Serikat.
Kala itu tempat pemutaran film tersebut dikenal dengan sebutan nickelodeon.
Lantas, kapan negeri kita mulai mengenal pertunjukan hiburan yang kemudian dikenal dengan nama film tersebut?
Di dalam surat kabar Bintang Betawi
terbitan hari Rebo tanggal 5 Desember 1900 terdapat iklan yang
menginformasikan tentang adanya “pertoenjoekan besar jang pertama”.
Sebagian dari isi iklan yang dipasang De Nederlandsche Bioscope Maatschappij itu menyatakan:
“Ini malem 5 Desember PERTOENJOEKAN BESAR JANG PERTAMA dan
teroes saban malem di dalem satoe roemah di Tanah Abang Kebondjae
(MANAGE) moelain poekoel TOEDJOE malem.”
Pertunjukan besar yang dimaksudkan dalam iklan pada surat kabar Bintang Betawi
itu adalah ‘tontonan gambar-gambar idoep’. Iklan pada surat kabar
tersebut edisi Jumat 30 November 1900 antara lain menyatakan akan adanya
‘tontonan amat bagoes jaitoe gambar-gambar idoep’. ‘Tontonan
gambar-gambar idoep’ itulah yang kini populer dengan sebutan film.
Melihat pada apa yang diinformasikan surat kabar Bintang Betawi
edisi 5 Desember 1900 lewat iklan tersebut jelaslah jika tontonan film
di negeri kita sudah dimulai pada tanggal 5 Desember 1900. Jadi, rentang
waktu keberadaan tontonan film di negeri kita dengan keberadaan bioskop
pertama di dunia tahun 1895, hanya berjarak lima tahun saja.
Tempat
pemutaran film (bioskop) di Amerika Serikat muncul dan berkembang mulai
tahun 1905. Sedang di negeri kita tempat pemutaran film di sebuah
bangunan rumah (bioskop) itu sudah ada sejak tahun 1900. Melihat dari
data ini, jelaslah Batavia (sekarang Jakarta) telah lebih dulu
memperkenalkan tempat pertunjukan film dibandingkan kota-kota di Amerika
Serikat.
Pembuatan Film
Sejarah pembuatan film di negeri kita sudah diawali sejak tahun 1910. Tapi film-film yang diproduksi saat itu adalah film-film non-features.
Pemerintah Hindia Belanda di masa itu mendatangkan sejumlah ahli dan
pekerja pembuat film dari Negeri Belanda untuk membuat film dokumenter
tentang apa dan bagaimana Hindia Belanda. Film-film non-features yang dibuat dimaksudkan untuk mengenalkan keberadaan Hindia Belanda kepada masyarakat di Negeri Belanda.
Enambelas tahun kemudian, tepatnya di tahun 1926, film feature
atau film cerita baru diproduksi di Hindia Belanda. Sejarah perjalanan
pembuatan film cerita di Hindia Belanda diawali dengan diproduksinya
sebuah film berjudul “Loetoeng Kasaroeng”. Jika sejarah kelahiran
bioskop diawali di Batavia, maka sejarah kelahiran film cerita di negeri
kita diawali di kota Bandung pada tahun 1926. Film cerita bisu pertama
produksi Java Film Company yang mengangkat tentang legenda di bumi
Priangan itu merupakan karya bersama seorang Belanda bernama L.
Heuveldorp dan seorang Jerman bernama G. Kruger.
Di tahun 1927, Kruger membuat perusahaan film sendiri bernama Krugers Filmbedriff. Film-film yang diproduksinya antara lain Eulis Acih, Karnadi Tangkap Bangkong dan Atma de Visser.
Bandung memang merupakan kota kelahiran film-film cerita. Setelah film Loetoeng Kasaroeng, F.Carli yang tinggal di Bandung juga tergerak untuk ikut membuat film dengan mendirikan Cosmos Film yang kemudian berubah menjadi Kinowerk Carli. Film yang dibuat Carli itu berjudul Karina’s Zelfop-offering (Pengorbanan Karina). Film
garapan Carli ini berkisah tentang kisah cinta antara seorang opsir
Belanda (asing) dengan seorang gadis keturunan bangsawan di Jawa. Dan,
yang menarik sebagian besar syuting film ini berlokasi di Yogyakarta.
Film garapan Carli lainnya adalah De Stem des Bloeds (Panggilan Darah).
Berbeda dengan Heuveldorp dan Kruger yang di dalam film Loetoeng Kasaroeng
lebih mengutamakan pemain-pemain pribumi, maka film garapan Carli ini
menggunakan pemain hampir seluruhnya orang asing atau Indo-Belanda
(peranakan Belanda). Salah seorang di antaranya isteri Carli sendiri,
Annie Krohn, yang berperan sebagai pemeran utamanya.
Bandung
kembali membuat catatan dalam sejarah perkembangan film dengan
datangnya Wong Bersaudara dari Shanghai, China, ke kota tersebut pada
tahun 1928. Ketika berada di Shanghai, Wong Bersaudara yang terdiri dari
Nelson, Joshua dan Othnil memang sudah bergerak di dalam usaha produksi
film. Salah satu film yang diproduksi Wong Bersaudara dengan perusahaan
filmnya Halimun Film di tahun 1928 itu berjudul Lily van Java. Film yang bercerita tentang kehidupan salah satu keluarga Cina peranakan.
Kedatangan
Wong Bersaudara ke Bandung, ternyata telah menggugah minat dua warga
Cina perantauan (peranakan), yakni Tan Koen Hian dan The Teng Chun untuk
terlibat dalam usaha produksi film. Keduanya lalu membuat perusahaan
film di Batavia (sekarang Jakarta). Tan Koen Hian tahun 1929 mendirikan
perusahaan film Tan’s Film. Di tahun 1929 itu Tan’s Film memproduksi film berjudul Njai Dasima. Sedangkan The Teng Chun tahun 1931 mendirikan Cino Motion Pictures Corporation.
Film Bicara
Era
film bisu di dunia berakhir pada tahun 1927. Berakhirnya era film bisu
ini ditandai dengan pembuatan film bicara (film suara) pertama di tahun
1927 yang berjudul Jazz Singer. Film bicara pertama ini diputar atau dipertontonkan pertama kali untuk umum pada 6 Oktober 1927 di New York, Amerika Serikat.
Dua
tahun kemudian, tepatnya di akhir tahun 1929, panggung pertunjukan film
di Hindia Belanda ditandai dengan masuknya dua film bicara dari Amerika
Serikat. Kedua film bicara itu berjudul Fox Follies dan Rainbow Man.
Masuknya
film bicara produksi Amerika Serikat itu tentu saja mempengaruhi
perusahaan film di Hindia Belanda untuk ikut memproduksi film bicara.
The Teng Chun dengan perusahaan filmnya Cino Motion Pictures Corporation (CMPC) pada tahun 1931 dengan peralatan rekaman suara yang sederhana mencoba membuat film bicara berjudul Roos van Cikembang. Sebelumnya CMPC memproduksi San Pek Eng Tay.
Setelah itu diproduksi pula sejumlah film lainnya seperti film Indonesia Maleise garapan Wong Bersaudara (1931) dan film Terpaksa Menikah kerjasama Kruger dengan Tan Khoen Hian (Tan’s Film) yang diproduksi tahun 1932.
Perkembangan
berikutnya terjadi di tahun 1934, ketika seorang Indo-Belanda bernama
Albert Balink yang berprofesi sebagai wartawan koran berbahasa Belanda De Locomotif membuat film berjudul Pareh
di Bandung. Balink tidak sendirian, tapi mengajak Wong Bersaudara dan
Mannus Franken seorang pembuat film dokumenter dari Belanda. Film Pareh yang diproduksi perusahaan film Java Pasific Film
dan dibintangi Rd. Mochtar dan Soerkarsih ini merupakan film Indonesia
pertama yang mendapat perhatian luas dari masyarakat pecinta film,
meskipun dari segi pemasaran masih dipandang tidak terlalu berhasil.
Cino Motion Pictures Corporation kemudian berganti nama The Java Industrial Film Co (JIF) dan pada tahun 1935 memroduksi film berjudul Lima Siloeman Tikoes. Film ini mendapat sambutan hangat masyarakat keturunan Cina di Batavia.
Jika film Pareh dinyatakan sebagai film Indonesia pertama yang mendapat perhatian luas dan dipuji dari segi kualitas dan ceritanya, maka film Terang Boelan
yang diproduksi tahun 1937 merupakan film pertama yang terlaris dan
sukses secara bisnis di pasaran. Film ini mendapat sambutan hangat
masyarakat pecinta hiburan film ketika itu.
Film Terang Boelan digarap
oleh Albert Balink bersama Wong Bersaudara dan mengajak pula seorang
wartawan pribumi, Saeroen, di bawah bendera perusahaan film Algeemene Nederlands Indische Film Syindicaat
(ANIF) yang didirikan di Batavia. Film yang penuh dengan nuansa
romantisme, tari dan nyanyi ini dibintangi Miss Roekiah dan Rd. Mochtar.
Miss Roekiah sebelumnya adalah seorang penyanyi keroncong di panggung
tonel (panggung sandiwara), sedangkan Rd. Mochtar adalah bintang yang
ketika itu sedang digandrungi lewat penampilan sebelumnya di film Pareh.
Kesuksesan film Terang Boelan
yang berkisah tentang kehidupan masyarakat asli di pulau-pulau Laut
Selatan ini kemudian menjadi pemicu perusahaan-perusahaan film yang ada
di saat itu untuk memproduksi tema yang sama, dengan tujuan meraih
kesuksesan dari segi pemasaran. Apalagi film Terang Bulan tidak hanya
sukses di dalam negeri sendiri, tapi juga meraih sukses ketika
ditayangkan di Malaya (Malaysia) dan Singapura.
Setelah film Terang Boelan,
dunia perfilman di negeri kita ketika itu mengalami masa-masa
menggembirakan. Masa-masa itu (1939-1942) oleh Misbach Jusa Biran
disebut sebagai masa panen pertama perfilman Indonesia.
Di dalam Selintas Kilas Sejarah Film Indonesia (terbitan Badan Pelaksana FFI 1982) Misbach Jusa Biran menyatakan – Film Terang Boelan memperlihatkan bukti yang amat jelas kepada para pemilik modal
bahwa usaha pembuatan film bisa menjadi bisnis yang hebat. Maka sejak
tahun 1939 mulai bermunculan perusahaan-perusahaan film baru. Semuanya
berpedoman kepada pola resep yang dipakai oleh film Terang Boelan.
Pasangan Roekiah-Rd. Mochtar yang namanya menjulang ke langit
popularitas, juga menjadi modal dalam mendapatkan bintang bagi
masing-masing perusahaan. Sejak saat ini kedudukan bintang dalam film
Indonesia merupakan unsur yang amat penting, “star system”
dimulai. Seperti juga Roekiah, maka semua bintang baru khususnya
ditarik dari dunia tonel. Termasuk pemain panggung yang paling cemerlang
saat itu, seperti Fifi Young, Tan Tjeng Bok, Rd. Ismail, Astaman dan
Ratna Asmara. Bahkan kemudian semua orang panggung diangkut pula ke
dunia film untuk mengisi kebutuhan tenaga kerja dari produksi yang
mendadak meningkat.
Tapi
masa panen pertama perfilman Indonesia itu, menurut Misbach Jusa Biran,
hanya berusia singkat, karena harus mendadak terhenti pada awal tahun
1942. Hal itu terjadi setelah Jepang menduduki Indonesia dan
menyingkirkan kekuasaan Belanda pada Maret 1942, pemerintah pendudukan
Jepang kemudian menutup semua perusahaan film.
Masa Pendudukan Jepang
Menurut
Ryadi Gunawan, sejak pemerintah pendudukan Jepang berkuasa di negeri
ini, kehidupan sejarah perfilman kita mengalami suasana yang berbeda
dengan masa-masa sebelumnya. Semua perusahaan film yang ada, yang
sebagian besar merupakan milik orang-orang Cina, disita dan ditutup oleh
pemerintah pendudukan Jepang melalui Jawa Eiga Kosha (Java Motion Picture Corporation) yang dibentuk pada bulan Oktober 1942. (Lihat – Sejarah Perfilman Indonesia, Prisma 4, 1990).
Masih
menurut Ryadi Gunawan, setelah kejadian itu, untuk melaksanakan
kebijaksanaan perfilman oleh pemerintah pendudukan Jepang, dibentuk dua
lembaga yang berbeda fungsinya untuk menangani perfilman. Kedua lembaga
itu adalah Nichi’ei/Nippon Eigasha (Japan Motion Picture Company)
yang bertugas memproduksi film, dan Eihai/Eiga Haikyusha (Motion
Picture Distributing Company) yang bertugas memasarkan film. Setelah
terbentuknya kedua lembaga itu pada bulan April 1943, maka Jawa Eiga Kosha dibubarkan dan segala tugasnya diambil alih oleh kedua lembaga itu.
Di dalam perjalananya, Nichi’ei/Nippon Eigasha ternyata hanya memproduksi beberapa film pendek yang berisi propaganda Jepang, seperti Berdjoeang, Keseberang, dan Amat Heiho. Sedangkan Eiga Haikyusha hanya memasarkan film-film propaganda yang datang dari Jepang sendiri.
Masa Kemerdekaan
Setelah
Jepang menyerah kepada Sekutu dan Indonesia memproklamirkan
kemerdekaannya pada 17 Agustus 1945, dunia perfilman kita memasuki babak
baru, di mana semangat kemerdekaan dan rasa nasionalisme yang tinggi
sangat mewarnai cerita-cerita film. Pada masa-masa inilah muncul
sejumlah tokoh perfilman nasional, di antaranya dua nama terkemuka Usmar
Ismail dan Djamaluddin Malik.
Perkembangan
dunia perfilman di tanah air kita setelah masa kemerdekaan itu oleh
Misbach Jusa Biran dibagi dalam beberapa masa. Pertama, masa perang
(1942-1949). Misbach memasukkan tahun 1942 karena menurutnya sejak 1942
sampai 1945 merupakan masa pendudukan Jepang, sedang 1945 sampai 1949
disebutnya sebagai masa Revolusi Fisik atau Perang Kemerdekaan. Kemudian
kedua, masa bangkit dan hancur (1950-1957). Ketiga, masa penyemaian
konsep ideologi (1957-1966). Dan keempat, masa perletakan
landasan-landasan (sejak 1967).
Sejak
masa perletakan landasan-landasan itu hingga hari ini dunia perfilman
Indonesia terus mengalami masa-masa yang menarik untuk disimak dan
dikaji. Pada masa-masa ini dunia perfilman Indonesia mengalami pasang
surut dan naik-turun baik dari segi produksi, kuantitas dan kualitas.
Sejumlah bintang dan sineas terpandang muncul di masa-masa ini. Dan,
setelah era reformasi, dunia perfilman Indonesia diwarnai pula dengan
munculnya sejumlah sineas dan bintang muda yang mengusung suara-suara
kebebasan dalam berkarya. – (Sutirman Eka Ardhana)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar