SEJARAH PERFILMAN INDONESIA
PERJALANAN dan perkembangan dunia
perfilman di tanah air kita menarik untuk disimak. Sesungguhnya sejarah
pengenalan seni hiburan yang populer disebut film ini di Indonesia tidak berjarak terlalu
jauh dengan yang berlangsung di Barat (Eropa dan Amerika). Bahkan bangsa Indonesia
(Hindia Belanda) lebih dulu mengenal dunia pertunjukan film dibandingkan dengan
Italia.
Kemunculan atau kelahiran bioskop pertama di dunia terjadi pada 28
Desember 1895 di Paris.
Ketika itu tempat yang dijadikan bioskop untuk memutar film tersebut adalah
sebuah kafe di salah satu ruang bawah tanah. Budaya menonton film dengan
membeli karcis atau tiket masuk diperkenalkan pada waktu yang sama. Sepuluh
tahun kemudian, tepatnya di tahun 1905, tempat pemutaran film (bioskop)
bermunculan dan berkembang di Amerika Serikat. Kala itu tempat pemutaran film
tersebut dikenal dengan sebutan nickelodeon.
Lantas, kapan negeri kita mulai
mengenal pertunjukan hiburan yang kemudian dikenal dengan nama film tersebut?
Di dalam surat kabar Bintang Betawi
terbitan hari Rebo tanggal 5 Desember 1900 terdapat iklan yang menginformasikan
tentang adanya “pertoenjoekan besar jang pertama”. Sebagian dari isi iklan yang
dipasang De Nederlandsche Bioscope Maatschappij itu menyatakan:
“Ini malem 5 Desember PERTOENJOEKAN BESAR JANG PERTAMA dan
teroes saban malem di dalem satoe
roemah di Tanah Abang Kebondjae
(MANAGE) moelain poekoel TOEDJOE
malem.”
Pertunjukan besar yang dimaksudkan dalam iklan pada surat kabar Bintang Betawi itu adalah
‘tontonan gambar-gambar idoep’. Iklan pada surat kabar tersebut edisi Jumat 30 November
1900 antara lain menyatakan akan adanya ‘tontonan amat bagoes jaitoe
gambar-gambar idoep’. ‘Tontonan gambar-gambar idoep’ itulah yang kini populer
dengan sebutan film.
Melihat pada apa yang diinformasikan surat kabar Bintang Betawi edisi 5 Desember 1900 lewat iklan tersebut jelaslah
jika tontonan film di negeri kita sudah dimulai pada tanggal 5 Desember 1900.
Jadi, rentang waktu keberadaan tontonan film di negeri kita dengan keberadaan
bioskop pertama di dunia tahun 1895, hanya berjarak lima tahun saja.
Tempat pemutaran film (bioskop) di Amerika Serikat muncul dan berkembang
mulai tahun 1905. Sedang di negeri kita tempat pemutaran film di sebuah
bangunan rumah (bioskop) itu sudah ada sejak tahun 1900. Melihat dari data ini,
jelaslah Batavia (sekarang Jakarta) telah lebih dulu memperkenalkan
tempat pertunjukan film dibandingkan kota-kota di Amerika Serikat.
Pembuatan Film
Sejarah pembuatan film di negeri kita sudah diawali sejak tahun 1910.
Tapi film-film yang diproduksi saat itu adalah film-film non-features. Pemerintah Hindia Belanda di masa itu mendatangkan
sejumlah ahli dan pekerja pembuat film dari Negeri Belanda untuk membuat film
dokumenter tentang apa dan bagaimana Hindia Belanda. Film-film non-features yang dibuat dimaksudkan
untuk mengenalkan keberadaan Hindia Belanda kepada masyarakat di Negeri
Belanda.
Enambelas tahun kemudian, tepatnya di tahun 1926, film feature atau film cerita baru diproduksi
di Hindia Belanda. Sejarah perjalanan pembuatan film cerita di Hindia Belanda
diawali dengan diproduksinya sebuah film berjudul “Loetoeng Kasaroeng”. Jika
sejarah kelahiran bioskop diawali di Batavia,
maka sejarah kelahiran film cerita di negeri kita diawali di kota
Bandung pada
tahun 1926. Film cerita bisu pertama produksi Java Film Company yang mengangkat
tentang legenda di bumi Priangan itu merupakan karya bersama seorang Belanda
bernama L. Heuveldorp dan seorang Jerman bernama G. Kruger.
Di tahun 1927, Kruger membuat perusahaan film sendiri bernama Krugers Filmbedriff. Film-film yang
diproduksinya antara lain Eulis Acih,
Karnadi Tangkap Bangkong dan Atma de Visser.
Bandung memang merupakan kota kelahiran film-film cerita. Setelah
film Loetoeng
Kasaroeng, F.Carli yang tinggal di Bandung
juga tergerak untuk ikut membuat film dengan mendirikan Cosmos Film yang kemudian berubah menjadi Kinowerk Carli. Film yang dibuat Carli itu berjudul Karina’s Zelfop-offering (Pengorbanan
Karina). Film garapan Carli ini berkisah tentang kisah cinta antara seorang
opsir Belanda (asing) dengan seorang gadis keturunan bangsawan di Jawa. Dan,
yang menarik sebagian besar syuting film ini berlokasi di Yogyakarta.
Film garapan Carli lainnya adalah De Stem des Bloeds (Panggilan Darah).
Berbeda dengan Heuveldorp dan Kruger yang di dalam film Loetoeng Kasaroeng lebih mengutamakan
pemain-pemain pribumi, maka film garapan Carli ini menggunakan pemain hampir
seluruhnya orang asing atau Indo-Belanda (peranakan Belanda). Salah seorang di
antaranya isteri Carli sendiri, Annie Krohn, yang berperan sebagai pemeran
utamanya.
Bandung kembali membuat catatan dalam
sejarah perkembangan film dengan datangnya Wong Bersaudara dari Shanghai, China,
ke kota
tersebut pada tahun 1928. Ketika berada di Shanghai, Wong Bersaudara yang terdiri dari
Nelson, Joshua dan Othnil memang sudah bergerak di dalam usaha produksi film.
Salah satu film yang diproduksi Wong Bersaudara dengan perusahaan filmnya Halimun Film di tahun 1928 itu berjudul Lily van Java. Film yang bercerita
tentang kehidupan salah satu keluarga Cina peranakan.
Kedatangan Wong Bersaudara ke Bandung, ternyata telah menggugah minat dua
warga Cina perantauan (peranakan), yakni Tan Koen Hian dan The Teng Chun untuk
terlibat dalam usaha produksi film. Keduanya lalu membuat perusahaan film di
Batavia (sekarang Jakarta).
Tan Koen Hian tahun 1929 mendirikan perusahaan film Tan’s Film. Di tahun 1929 itu Tan’s
Film memproduksi film berjudul Njai
Dasima. Sedangkan The Teng Chun tahun 1931 mendirikan Cino Motion Pictures Corporation.
Film Bicara
Era film bisu di dunia berakhir pada tahun 1927. Berakhirnya era film
bisu ini ditandai dengan pembuatan film bicara (film suara) pertama di tahun
1927 yang berjudul Jazz Singer. Film
bicara pertama ini diputar atau dipertontonkan pertama kali untuk umum pada 6
Oktober 1927 di New York,
Amerika Serikat.
Dua tahun kemudian, tepatnya di akhir tahun 1929, panggung pertunjukan
film di Hindia Belanda ditandai dengan masuknya dua film bicara dari Amerika
Serikat. Kedua film bicara itu berjudul Fox
Follies dan Rainbow Man.
Masuknya film bicara produksi Amerika Serikat itu tentu saja mempengaruhi
perusahaan film di Hindia Belanda untuk ikut memproduksi film bicara. The Teng
Chun dengan perusahaan filmnya Cino
Motion Pictures Corporation (CMPC) pada tahun 1931 dengan peralatan rekaman
suara yang sederhana mencoba membuat film bicara berjudul Roos van Cikembang. Sebelumnya CMPC memproduksi San Pek Eng Tay.
Setelah itu diproduksi pula sejumlah film lainnya seperti film Indonesia Maleise garapan Wong
Bersaudara (1931) dan film Terpaksa
Menikah kerjasama Kruger dengan Tan Khoen Hian (Tan’s Film) yang diproduksi
tahun 1932.
Perkembangan berikutnya terjadi di tahun 1934, ketika seorang
Indo-Belanda bernama Albert Balink yang berprofesi sebagai wartawan koran
berbahasa Belanda De Locomotif membuat film berjudul Pareh di Bandung. Balink tidak
sendirian, tapi mengajak Wong Bersaudara dan Mannus Franken seorang pembuat
film dokumenter dari Belanda. Film Pareh
yang diproduksi perusahaan film Java Pasific
Film dan dibintangi Rd. Mochtar dan Soerkarsih ini merupakan film Indonesia
pertama yang mendapat perhatian luas dari masyarakat pecinta film, meskipun
dari segi pemasaran masih dipandang tidak terlalu berhasil.
Cino Motion Pictures Corporation kemudian berganti nama The Java Industrial Film Co (JIF) dan pada tahun
1935 memroduksi film berjudul Lima
Siloeman Tikoes. Film ini mendapat sambutan hangat masyarakat keturunan
Cina di Batavia.
Jika film Pareh dinyatakan
sebagai film Indonesia pertama yang mendapat perhatian luas dan dipuji dari
segi kualitas dan ceritanya, maka film Terang
Boelan yang diproduksi tahun 1937 merupakan film pertama yang terlaris dan
sukses secara bisnis di pasaran. Film ini mendapat sambutan hangat masyarakat
pecinta hiburan film ketika itu.
Film Terang Boelan digarap oleh
Albert Balink bersama Wong Bersaudara dan mengajak pula seorang wartawan
pribumi, Saeroen, di bawah bendera perusahaan film Algeemene Nederlands Indische Film Syindicaat (ANIF) yang didirikan
di Batavia.
Film yang penuh dengan nuansa romantisme, tari dan nyanyi ini dibintangi Miss
Roekiah dan Rd. Mochtar. Miss Roekiah sebelumnya adalah seorang penyanyi
keroncong di panggung tonel (panggung sandiwara), sedangkan Rd. Mochtar adalah
bintang yang ketika itu sedang digandrungi lewat penampilan sebelumnya di film Pareh.
Kesuksesan film Terang Boelan
yang berkisah tentang kehidupan masyarakat asli di pulau-pulau Laut Selatan ini
kemudian menjadi pemicu perusahaan-perusahaan film yang ada di saat itu untuk
memproduksi tema yang sama, dengan tujuan meraih kesuksesan dari segi
pemasaran. Apalagi film Terang Bulan tidak hanya sukses di dalam negeri
sendiri, tapi juga meraih sukses ketika ditayangkan di Malaya (Malaysia)
dan Singapura.
Setelah film Terang Boelan,
dunia perfilman di negeri kita ketika itu mengalami masa-masa menggembirakan.
Masa-masa itu (1939-1942) oleh Misbach Jusa Biran disebut sebagai masa panen
pertama perfilman Indonesia.
Di dalam Selintas Kilas Sejarah
Film Indonesia (terbitan Badan Pelaksana FFI 1982) Misbach Jusa Biran
menyatakan – Film Terang Boelan
memperlihatkan bukti yang amat jelas kepada para pemilik modal bahwa usaha pembuatan film bisa menjadi
bisnis yang hebat. Maka sejak tahun 1939 mulai bermunculan
perusahaan-perusahaan film baru. Semuanya berpedoman kepada pola resep yang
dipakai oleh film Terang Boelan.
Pasangan Roekiah-Rd. Mochtar yang namanya menjulang ke langit popularitas, juga
menjadi modal dalam mendapatkan bintang bagi masing-masing perusahaan. Sejak
saat ini kedudukan bintang dalam film Indonesia merupakan unsur yang amat
penting, “star system” dimulai. Seperti juga Roekiah, maka semua bintang baru
khususnya ditarik dari dunia tonel. Termasuk pemain panggung yang paling
cemerlang saat itu, seperti Fifi Young, Tan Tjeng Bok, Rd. Ismail, Astaman dan
Ratna Asmara. Bahkan kemudian semua orang panggung diangkut pula ke dunia film
untuk mengisi kebutuhan tenaga kerja dari produksi yang mendadak meningkat.
Tapi masa panen pertama perfilman Indonesia itu, menurut Misbach Jusa
Biran, hanya berusia singkat, karena harus mendadak terhenti pada awal tahun
1942. Hal itu terjadi setelah Jepang menduduki Indonesia dan menyingkirkan
kekuasaan Belanda pada Maret 1942, pemerintah pendudukan Jepang kemudian
menutup semua perusahaan film.
Masa Pendudukan Jepang
Menurut Ryadi Gunawan, sejak pemerintah pendudukan Jepang berkuasa di
negeri ini, kehidupan sejarah perfilman kita mengalami suasana yang berbeda
dengan masa-masa sebelumnya. Semua perusahaan film yang ada, yang sebagian
besar merupakan milik orang-orang Cina, disita dan ditutup oleh pemerintah
pendudukan Jepang melalui Jawa Eiga Kosha
(Java Motion Picture Corporation) yang dibentuk pada bulan Oktober 1942.
(Lihat – Sejarah Perfilman Indonesia,
Prisma 4, 1990).
Masih menurut Ryadi Gunawan, setelah kejadian itu, untuk melaksanakan
kebijaksanaan perfilman oleh pemerintah pendudukan Jepang, dibentuk dua lembaga
yang berbeda fungsinya untuk menangani perfilman. Kedua lembaga itu adalah Nichi’ei/Nippon Eigasha (Japan Motion
Picture Company) yang bertugas memproduksi film, dan Eihai/Eiga Haikyusha
(Motion Picture Distributing Company) yang bertugas memasarkan film. Setelah
terbentuknya kedua lembaga itu pada bulan April 1943, maka Jawa Eiga Kosha dibubarkan dan segala tugasnya diambil alih oleh
kedua lembaga itu.
Di dalam perjalananya, Nichi’ei/Nippon
Eigasha ternyata hanya memproduksi beberapa film pendek yang berisi
propaganda Jepang, seperti Berdjoeang,
Keseberang, dan Amat Heiho.
Sedangkan Eiga Haikyusha hanya
memasarkan film-film propaganda yang datang dari Jepang sendiri.
Masa Kemerdekaan
Setelah Jepang menyerah kepada Sekutu dan Indonesia memproklamirkan
kemerdekaannya pada 17 Agustus 1945, dunia perfilman kita memasuki babak baru,
di mana semangat kemerdekaan dan rasa nasionalisme yang tinggi sangat mewarnai
cerita-cerita film. Pada masa-masa inilah muncul sejumlah tokoh perfilman
nasional, di antaranya dua nama terkemuka Usmar Ismail dan Djamaluddin Malik.
Perkembangan dunia perfilman di tanah air kita setelah masa kemerdekaan
itu oleh Misbach Jusa Biran dibagi dalam beberapa masa. Pertama, masa perang
(1942-1949). Misbach memasukkan tahun 1942 karena menurutnya sejak 1942 sampai
1945 merupakan masa pendudukan Jepang, sedang 1945 sampai 1949 disebutnya
sebagai masa Revolusi Fisik atau Perang Kemerdekaan. Kemudian kedua, masa
bangkit dan hancur (1950-1957). Ketiga, masa penyemaian konsep ideologi
(1957-1966). Dan keempat, masa perletakan landasan-landasan (sejak 1967).
Sejak masa perletakan landasan-landasan itu hingga hari ini dunia
perfilman Indonesia
terus mengalami masa-masa yang menarik untuk disimak dan dikaji. Pada masa-masa
ini dunia perfilman Indonesia
mengalami pasang surut dan naik-turun baik dari segi produksi, kuantitas dan
kualitas. Sejumlah bintang dan sineas terpandang muncul di masa-masa ini. Dan,
setelah era reformasi, dunia perfilman Indonesia diwarnai pula dengan
munculnya sejumlah sineas dan bintang muda yang mengusung suara-suara kebebasan
dalam berkarya.
Sejarah perjalanan film di negeri
kita tidak bisa dilepaskan dengan sejarah perjuangan bangsa kita dalam merebut
dan mempertahankan kemerdekaan. Setelah Jepang menyerah kepada sekutu di bulan
Agustus 1945, dan Soekarno-Hatta memproklamirkan kemerdekaan Republik Indonesia
pada 17 Agustus 1945, pemerintah pendudukan Jepang kemudian menyerahkan Nippon Eighasha kepada Pemerintah
Republik Indonesia yang ketika itu sedang dalam tahap penataan diri. Oleh
Pemerintah Republik, lembaga film buatan pemerintah pendudukan Jepang itu
diserahkan kepada instansi atau lembaga yang diberi nama Berita Film Indonesia
(BFI) dipimpin RM. Sutarto.
Meskipun sudah menyerahkan lembaga film Nippon Eighasha, akan tetapi pemerintah pendudukan Jepang belum mau
menyerahkan wewenang pemerintahan sepenuhnya kepada Pemerintah RI.
Bahkan pada tanggal 10
September 1945, Panglima Bala Tentara Jepang di Jawa menyatakan
akan menyerahkan wewenang pemerintahan di Indonesia kepada pihak Sekutu.
Akhir September 1945 tentara Sekutu mendarat di Indonesia. Belanda yang tidak rela Indonesia merdeka memboncengkan tentaranya bersama-sama
Sekutu masuk lagi ke Indonesia.
Pertempuran mempertahankan kemerdekaan melawan kedatangan tentara Sekutu
yang diboncengi tentara Belanda (NICA) terjadi di berbagai kota dan daerah. Di tengah-tengah gejolak
mempertahankan kemerdekaan, pada tanggal 4 Januari 1946 Pemerintah
RI pindah dari Jakarta
ke Yogyakarta. Dengan kepindahan ini pusat
pemerintahan atau ibukota RI juga beralih dari Jakarta
ke Yogyakarta. Sejak Januari 1946 itu kota Yogyakarta menjadi
pusat segaka aktivitas pemerintahan. Para pekerja film atau insan-insan film
juga ikut pindah ke Yogyakarta. Di Yogyakarta sejumlah orang film
menggabungkan dirinya ke dalam kekuatan perjuangan dengan menjadi tentara.
Usmar Ismail misalnya, ia ikut menjadi tentara dengan pangkat Mayor, selain dipercaya pula untuk memimpin koran
perjuangan yang bernama “Patriot”.
Sejak proklamasi kemerdekaan sampai tahun 1947, produksi film di negeri
kita bisa dikatakan dalam kondisi padam, karena tidak ada satu pun film yang
diproduksi. Meskipun begitu upaya-upaya untuk tetap membangkitkan gairah dan
semangat berkarya di dunia film tetap dilakukan. Pada tahun 1947 di Yogyakarta didirikan lembaga studi drama dan film yang
diberi nama Kino Drama Atelier (KDA). Dr. Huyung (Hinatsu Heitaro), seorang
mantan tentara Jepang yang menolak pulang ke negerinya dan memilih bergabung
dengan para pejuang RI, dipercaya memimpin KDA. Di masa pendudukan Jepang,
Huyung yang memang sarjana sastra lulusan Universitas Waseda di Tokyo itu
memang dipercaya sebagai tentara yang bertugas menangani bidang seni teater,
terutama dalam menggalakkan propaganda Jepang melalui seni tetar atau drama.
Pada tanggal 8 Desember 1947 diadakan Perundingan Renville antara Pemerintah RI dan Belanda
yang berlangsung di atas Kapal Renville yang berlabuh di Teluk Jakarta. Usmar Ismail
dalam kapasitasnya sebagai pemimpin redaksi koran “Patriot” ikut berangkat ke Jakarta untuk meliput
jalannya perundingan. Tapi malang,
ia ditangkap dan ditahan oleh tentara Belanda. Penangkapan itu dilakukan
setelah Belanda mengetahui bahwa Usmar Ismail juga seorang tentara republik
yang berpangkat Mayor.
Di tengah-tengah masa penuh gejolak seperti itu, pihak Belanda dengan
bantuan Sekutu telah menguasai kembali Jakarta
dan sejumlah kota
lainnya itu mulai melirik lagi ke film. Mereka berpendapat, film bisa digunakan
sebagai media berkomunikasi dan mempengaruhi kejiwaan masyarakat untuk
beramai-ramai kembali ke kota-kota dari pengungsiannya di daerah-daerah
pedalaman yang dikuasai Pemerintah
RI. Dengan film, masyarakat juga
akan diyakinkan bahwa kondisi di kota-kota sudah aman dan nyaman, serta Belanda
sudah menciptakan kestabilan dan kenyamanan di mana-mana.
Ketika Belanda kembali menguasai Jakarta,
maka mereka mengambil alih pula Berita Film Indonesia (BFI) dan menghidupkan
kembali perusahaan film mereka yang ada sebelum masa pendudukan Jepang, NV
Multi Film (ex ANIF). Karena sejak awal NV Multi Film memang bertugas
memproduksi film-film non-features seperti film dokumenter, maka pada tahun
1948 NV Multi Film membentuk devisi usaha yang khusus untuk memproduksi
film-film features atau film-film cerita. Devisi usaha dari NV Multi Film itu
diberi nama South Pasific Film Corp. (SPFC).
Anjar Asmara, seseorang yang punya pengalaman dalam soal film karena
pernah membuat satu film produksi Java Industrial Film (JIF) sebelum pendudukan
Jepang dipercaya oleh SPFC untuk menyutradarai dua judul film. Demikian pula
halnya dengan Usmar Ismail yang ketika itu menjadi tahanan pihak Belanda di Jakarta, ia
pun dikeluarkan dari tahanan dan dipercaya untuk mendampingi Anjar Asmara,
dengan menjadi asisten sutradara.
Dua judul film produksi SPFC di tahun 1948 yang disutradarai Anjar Asmara dengan asisten
sutradara Usmar Ismail itu Jauh Dimata
dan Gadis Desa. Setelah menyutradarai
kedua film itu, Anjar Asmara lalu meninggalkan SPFC. Posisinya sebagai
sutradara kemudian digantikan oleh Usmar Ismail.
Dalam posisinya sebagai sutradara, tahun 1949 Usmar Ismail melalui
produksi SPFC menggarap dua judul film, Citra
(Tjitra) dan Harta Karun. Film Citra merupakan film garapan pertama
Usmar Ismail, yang diangkat dari naskah sandiwaranya yang pernah dipanggungkan
semasa pendudukan Jepang. Sedangkan Harta
Karun merupakan cerita saduran dari “L’Avare” karya pengarang Perancis,
Molier.
Sepanjang 1948 dan 1949 orang-orang film lainnya pun mulai menggeliat.
Wong Bersaudara bekerjasama dengan Tan Koen Hian mendirikan “Tan & Wong
Brothers” yang kemudian memproduksi film Air
Mata Mengalir di Tjitarum. Kemudian disusul The Teng Chun bekerjasama
dengan Fred Young mendirikan perusahaan film “Bintang Surabaya” dan memproduksi
film Sapu Tangan.
Di masa-masa itu, Kino Drama Atelier (KDA) juga ikut menggeliat di Yogyakarta. Dalam serba keterbatasan, KDA sempat
memproduksi dua judul film yang disutradarai Dr. Huyung. Dua film produksi KDA
itu, Antara Bumi dan Langit serta Bunga Rumah Makan (lihat Eddy D.
Iskandar, Mengenal Perfilman Nasional,
1987).
Pada tanggal 28 Desember 1949 pusat pemerintahan dan ibukota RI kembali
beralih ke Jakarta setelah sehari sebelumnya
Pemerintah Kerajaan Belanda mengakui kedaulatan Republik Indonesia. Dengan beralihnya
kembali ibukota RI dari Yogyakarta ke Jakarta,
maka semua aktivitas kembali berpusat di Jakarta.
Termasuk aktivitas di bidang perfilman. Bahkan Usmar Ismail yang sebelumnya
sempat terlibat dalam ketentaraan dengan pangkat Mayor, menyatakan keluar dari
kemiliteran dan kembali ke kehidupan sipil, karena ingin sepenuhnya bergelut di
dunia seni film.
Masa Kebangkitan dan Kehancuran
Tahun 1950 merupakan tahun kebangkitan film nasional di era kemerdekaan.
Tapi era 1950 sampai 1957, oleh Misbach Jusa Biran, disebut sebagai masa
“bangkit dan hancurnya” perfilman nasional. Karena setelah bangkit di tahun
1950 dan sempat menikmati masa-masa cemerlang, mulai tahun 1956 hingga 1957
dunia perfilman nasional mengalami masa-masa kritis, penuh hambatan, bahkan
disebut juga sebagai masa kehancuran.
Kebangkitan film nasional di tahun 1950 itu ditandai dengan perusahaan
film nasional Perfini (Perusahaan Film Nasional Indonesia) yang didirikan oleh
Usmar Ismail. Film produksi perdana Perfini, Darah dan Doa (The Long March of Siliwangi), yang langsung
disutradarai sendiri oleh Usmar Ismail, sedangkan skenarionya ditulis penyair
Sitor Situmorang.
Sejak masa perletakan
landasan-landasan itu hingga hari ini dunia perfilman Indonesia terus mengalami masa-masa
yang menarik untuk disimak dan dikaji. Pada masa-masa ini dunia perfilman Indonesia
mengalami pasang surut dan naik-turun baik dari segi produksi, kuantitas dan
kualitas. Sejumlah bintang dan sineas terpandang muncul di masa-masa ini. Dan,
setelah era reformasi, dunia perfilman Indonesia diwarnai pula dengan
munculnya sejumlah sineas dan bintang muda yang mengusung suara-suara kebebasan
dalam berkarya. *** (Sutirman Eka Ardhana)