Simak
Buku (1):
Memahami
Jawa, Lewat "Manusia Jawa"
MASYARAKAT Jawa selalu menarik untuk
diperbincangkan. Terutama kalau itu berkaitan dengan budaya dan filsafat
kehidupannya. Banyak cara dilakukan oleh para ahli dalam kaitan untuk memahami
Jawa, karena Jawa dipandang tak hanya sebatas nama suatu kelompok suku atau
etnis, tetapi juga merupakan bentuk ajaran kehidupan yang adiluhung.
Sesungguhnya ada sebuah buku yang bisa
dijadikan salah satu pilihan bila ingin mengetahui lebih jauh tentang
seluk-beluk orang Jawa, atau memahami Jawa. Buku yang saya maksud itu berjudul
"Manusia Jawa", karya Drs.
Marbangun Hardjowirogo. Buku ini memang bukan buku baru, karena diterbitkan
oleh Yayasan Idayu, Jakarta, tahun 1983. Akan tetapi, bila ingin memahami Jawa,
dan mencoba mencari tambahan wawasan yang lebih luas lagi tentang apa dan
bagaimana orang Jawa, buku ini akan memberi pengetahuan yang berharga.
Untuk mengetahui betapa buku ini memang
layak disimak bila ingin memahami Jawa, simak dulu judul-judul tulisan atau
bahasan di dalamnya. Buku ini merangkum 23 judul tulisan atau bahasan. Bahasan
di dalamnya meliputi: Pertanggungjawaban, Sikap Feodalistik Manusia Jawa, Sikap
Keagamaan Manusia Jawa, Sikap Fatalistik Manusia Jawa, Manusia Jawa dan Wayang,
Manusia Jawa dan Tindak Tegas, Manusia
Jawa "Rumangsan", Manusia Jawa dan "Aja Dumeh", Manusia
Jawa dan "Tepa Slira", Manusia Jawa dan "Mawas Diri",
Manusia Jawa dan "Budi Luhur", Manusia Jawa dan Sanak, Manusia Jawa
dan "Serat Wulang Reh", Manusia Jawa dan "Serat
Weddhatama", Manusia Jawa dan "Ngelmu Begja", Manusia Jawa dan
Sikap "Perwira", Manusia Jawa dan "Bantingraga", Manusia
Jawa dan Penikmatan Hidup, Manusia Jawa dan "Gugontuhon", Manusia
Jawa dan "Kamanungsan", Manusia Jawa dan Suku-suku Sebangsanya,
Manusia Jawa dan Semu, dan Manusia Jawa dalam Perubahan.
Nah, dari judul-judul bahasan itu, terlihat
jelas buku ini menyajikan beragam aspek tatanan kehidupan yang ada di dalam
masyarakat Jawa. Karena saya juga baru mencoba belajar memahami Jawa, karenanya
saya tidak punya keberanian untuk mengatakan semua aspek kehidupan masyarakat
atau manusia Jawa sudah terangkum di dalam bahasan-bahasannya. Saya hanya bisa
mengatakan, bahasan-bahasannya sudah menampilkan beragam aspek kehidupan
masyarakat Jawa.
Sikap
Feodalistik
Bila ingin menelisik lebih dalam tentang
apa dan bagaimana manusia Jawa itu, semua bahasan di dalamnya sungguh menarik
untuk disimak. Akan tetapi, saya tak mungkin menjelaskan semua bahasan-bahasan
itu. Hanya beberapa bahasan saja yang bisa saya coba kemukakan.
Menurut saya, salah satu bahasan yang
menarik disimak adalah bahasan berjudul "Sikap Feodalistik Manusia
Jawa". Di dalam bahasan tentang sikap feodalistik manusia Jawa, Drs.
Marbangun Hardjowirogo memaparkan, feodalisme tak lain suatu mental attitude, sikap mental terhadap sesama
dengan mengadakan sikap khusus karena adanya pembedaan dalam usia atau
kedudukan.
Dalam hal ini, Drs Marbangun menegaskan,
bahasa dan budaya Jawa berbuat sangat terperinci. Dalam menghadapi seseorang
lebih tua dalam usia, orang Jawa menggunakan kata-kata berlainan dengan apabila
ia menghadapi seseorang lebih muda atau sama dalam usia. Perbendaharaan kata
orang lebih tua dalam usia berbeda dengan perbendaharaan kata orang lebih muda
dalam usia. Perbedaan dalam perbendaharaan kata ini terdapat pula karena adanya
perbedaan dalam tingkat kebangsawanan dan juga karena adanya perbedaan dalam
kedudukan sebagai priyayi.
Dikemukakan pula, demikian kuatnya sudah feodalisme berakar dalam masyarakat
Jawa. Manusia Jawa begitu kuat terikat oleh tradisi dan tata gaul feodalistik,
sehingga ia belum bisa bersikap dan berbicara bebas di dalam masyarakatnya.
Coba simak apa yang diuraikan Drs Marbangun
Hardjowirogo di bawah ini:
Ingin
melalui ruangan penuh-sesak misalnya, di mana kebetulan duduk juga pamannya
atau kepala kantornya, orang Jawa takkan berani berjalan biasa. Ia otomatis
akan membungkuk hormat dan tersenyum pula sambil mengisyaratkan dengan tangan
kanannya, bahwa ia ingin berlalu. Secara mental ia dibebani dengan tradisi dan
tata-gaul yang terwaris olehnya selagitak bisa dan tak berani ia membebaskan
diri darinya. Beban ini bisa terasa lebih berat lagi dalam hubungan pekerjaan.
Di hadapan atasan tak pernah seorang bawahan Jawa mau mengatakan
"tidak" dan selalu menyatakan penolakannya secara halus dengan senyum
di bibir dengan maksud supaya tidak mengecewakan, dan menyakiti hati pihak yang
ditolak tawaran atau permintaannya.
"Inggih"
(ya) di lingkungan kraton dalam kenyataannya belum tentu berarti ya. Sebab kata
"mboten" (tidak) tak ada di dalam tata-gaul masyarakat Jawa dan
lebih-lebih lagi dalam pemerintahan. Di sini orang tak mengenal bantahan dan
hanya persetujuan. Dengan demikian ya bisa berarti tidak dan tidak yang
diucapkan ragu-ragu bisa berarti ya. Tak pernah bisa didapat kepastian dalam
jawaban seorang manusia Jawa. Kepastiannya baru didapat sesudah keputusan
berlangsung beberapa waktu lamanya. Dilaksanakannya perintah berarti, bahwa
jawab yang telah diberikan ialah ya dan tak dilaksanakannya perintah itu
berarti, bahwa jawabnya yang telah diberikan ialah tidak.
Nah, apa yang dikemukakan Drs Marbangun di
atas ini memang bukan seseuatu yang berlebihan. Karena dalam realitanya, hal
semacam itu masih tetap ditemukan hingga hari ini.
"Aja Dumeh"
Tinggalkan dulu perihal sikap feodalistik
itu, karena bahasannya lumayan panjang. Saya ajak untuk menyimak bahasan
lainnya, yakni bahasan berjudul "Manusia Jawa dan Aja Dumeh".
Diuraikan di dalam buku ini, manusia Jawa
selalu dididik supaya jangan mengecewakan dan menyakiti hati orang lain oleh
karena pergantian nasib ke arah yang baik orang itu dapat menyebabkan kita keweleh, tersanggah dana harus
mengoreksi sikap kurang wajar yang telah kita ambil terhadap orang tersebut.
Demikian hati-hatinya falsafah hidup Jawa hingga secara mental menyiapkan para
penghayatnya terhadap kemungkinan-kemungkinan yang dapat dihadapi. Untuk
menjaga diri supaya tidak keweleh,
tersanggah oleh perubahan keadaan, manusia Jawa pun melindungi diri terhadap
akibat sikap aja dumeh.
Sikap teramat hati-hati yang diambil orang
Jawa di dalam hidup, menurut penulis buku ini, ada baiknya juga semacam
perlindungan terhadap perubahan dalam keadaan yang selalu dapat terjadi. Tapi
sebaliknya membikin dia kurang berani pula untuk mengambil risiko oleh karena
terlalu mementingkan keselamatan, baik batiniah maupun lahiriah di dalam
hidupnya.
Sikap seperti itu, menurut penulis buku
ini, memang safe, aman tapi tak memungkinkan
terjadinya kejutan-kejutan ke arah kemajuan. Ketenangan dalam hubungan
antarmanusia yang diperoleh mungkin membahagiakan juga, namun tak membukakan
cakrawala-cakrawala baru dalam hubungan yang memungkinkan suatu perkembangan ke
arah yang belum terpikir.
Saya kutipkan beberapa alinea dari bahasan
ini, yang sepertinya menarik untuk disimak dan dipahami.
Masyarakat
Jawa sementara ini dengan inklinasi diskriminatifnya yang masih cukup kuat,
tetap merupakan salah satu masyarakat di Indonesia yang sulit pendemokrasinnya.
Masih terlalu banyak mendapat sisa-sisa feodalistik di dalamnya yang tetap
bertahan dan memerlukan kesabaran dan ketahanan dalam mengatasi dan
memberantasnya.
Setiap
manusia Jawa yang mendapat kedudukan baik di dalam masyarakat oleh para
sesepuhnya dulu selalu dibekali pedoman hidup supaya menjauhkan diri dari sikap
aja dumeh selagi dia sedang beruntung oleh karena sikap mengagul-agulkan diri
dapat menjauhkan sanak dan kawan. Padahal orang selalu memerlukan doa restu
mereka untuk dapat melanggengkan kedudukan yang dipegang. Sebab lebih baiklah
selalu di dalam hidup untuk mempunyai kawan daripada mempunyai lawan. Simpati
dan doa sanak serta kawan selalu membantu dalam menyelamatkan dan
memberhasilkan segala usaha yang dilakukan.
Maka
itu manusia Jawa pun demi keselamatannya sendiri akan berusaha selalu untuk
mendapatkan kawan sebanyak-banyaknya. Sebab di dalam hidup orang tak pernah
dapat melakukan segala sesuatu sendiri.
Dari dua bahasan yang saya kemukakan, itu
pun hanya sebagian-sebagian saja, setidaknya ada gambaran buku Manusia Jawa ini memang layak disimak
bila kita akan mencoba menambah wawasan atau pengetahuan dalam memahami Jawa.
Saya pernah mendengar pernyataan
"Orang Jawa itu kalau marah bisa dengan senyum". Buku Manusia Jawa ini memperkuat pernyataan
itu. Jadi, berpandai-pandailah dalam menyimak atau membaca wajah orang Jawa,
karena senyum tak selalu bisa diartikan sebagai sesuatu yang menyenangkan. ***
(Sutirman Eka Ardhana)