Ajaran Idealisme dari Sang
Umbu
DALAM setiap langkah kehidupannya, setiap orang memang perlu
mengusung idealisme. Dengan kata lain, setiap orang, siapapun juga,
harus senantiasa punya idealisme. Hidup tanpa idealisme, adalah hidup
yang hampa. Hidup tanpa idealisme, adalah kehidupan yang tanpa makna.
Hidup tanpa idealisme, bagaikan hidup terpanggang di padang kering
tandus dan gersang yang luas.
Tapi ingat, jangan hidup dengan idealisme buta. Atau kata sahabat
saya, Mayon Sutrisno (almarhum), orang Klaten, yang sempat ‘belajar
kehidupan’ di Yogya, kemudian tinggal di Jakarta dan semasa
hidupnya telah menulis puisi, cerpen, novel serta sejumlah buku,
“Jangan hidup dengan idealisme yang membabi-buta. Idealisme
gagah-gagahan. Idealisme yang hanya ingin menunjukkan keangkuhan atau
kesombongan diri. Sebab, idealisme yang membabi-buta seperti itu,
sama saja dengan idealisme bunuh diri. Karena, suatu ketika nanti
idealisme seperti itu akan ‘membunuh’ dan membuat kita tak
berdaya. Akan membuat kita dicemooh banyak orang.”
Masih kata Mayon, “Dalam soal idealisme itu, saya kagum kepada Umbu
Landu Paranggi, sang penyair yang dijuluki Presiden Malioboro itu.
Umbu punya idealisme kesenimanan yang rasanya sulit ditandingi oleh
seniman-seniman lainnya. Idealismenya bukan idealisme buta. Tapi
idealisme nyata. Idealismenya terkesan bersahaja, tapi penuh makna.
Idealismenya penuh misteri. Idealisme itu terlihat jelas dari
puisi-puisinya, sikap dan perilakunya, serta dorongan dan
perhatiannya yang besar terhadap gerakan berkesenian atau bersastra.
Dengan idealisme yang dimilikinya, Umbu layak disebut sebagai Sang
Pujangga besar di masa kini.”
Kata-kata yang diucapkan Mayon Sutrisno, dalam suatu obrolan sekitar
duapuluh tahun lebih lalu, ketika kami sama-sama bekerja dalam satu
media di Jakarta itu, sungguh benar. Dia tidak mengada-ada. Dia tidak
sekadar memuja. Umbu memang layak disebut sebagai Sang Pujangga,
sebutan paling terhormat, sebutan termulia, teragung, dalam khasanah
kesenimanan, dan kepenyairan.
Jauh sebelum itu, jauh sebelum Umbu Landu Paranggi, para pujangga
besar terdahulu, telah menanamkan prinsip-prinsip idealisme itu
melalui karya-karya besarnya. Coba simak karya-karya besar para
pujangga atau pemikir spiritual seperti Ronggowarsito, Yosodipuro I,
Yosodipuro II, Sri Paku Buwono III, Sri Paku Buwono IV, Sri
Mangkunegoro IV, Ki Padmasusastra. Bahkan karya-karya besar seperti
Ramalan Jayabaya, Serat Darmogandhul, sampai Serat Centhini, dan
banyak surat lainnya. Dengan menyimak dan memahami isi kandungan di
dalam karya-karya besar itu, jelas akan tertemukan bagaimana
prinsip-prinsip idealisme itu sudah ditanamkan dan diajarkan oleh
para pujangga terdahulu.
Salah satu contoh, Pepali Ki Ageng Selo yang terdapat di dalam Serat
Centhini I secara jelas menanamkan tentang prinsip-prinsip idealisme
di dalam kehidupan itu. Misalnya, di dalamnya ada peringatan agar
kita jangan tinggi hati, jangan sombong, jangan jahat, jangan
serakah. Jangan suka mengambil yang bukan haknya, dan jangan suka
mengharap pujian. Kemudian diingatkan juga agar jangan suka jahil,
jangan berbuat serong, jangan bertebal muka dan jangan suka
membangga-banggakan diri.
Pepali Ki Ageng Selo itu juga mengingatkan, agar sebaiknya orang
hidup mencari kebaikan dan hal-hal yang bagus serta indah. Tapi
kebaikan dan hal-hal yang bagus itu bukan dikarenakan harta benda,
bukan karena pakaian, bahkan pula bukan karena wajah. Tapi kebaikan
dan hal-hal yang bagus itu adalah bagaimana kita bisa disayangi oleh
sesama, disukai dan dikagumi, karena tingkah laku dan pribadi yang
menyenangkan.
Kemudian diingatkan juga, agar jangan mendewa-dewakan harta, jangan
memuja pakaian yang indah, dan jangan pula mendewa-dewakan kepandaian
atau ilmu sendiri. Pendek kata, Pepali Ki Ageng Selo itu mengajarkan
kita untuk tidak sombong dan bersikap rendah hati dalam menjalani
kehidupan.
Idealisme Umbu
Lantas, bagaimana dengan Umbu Landu Paranggi? Seperti halnya Pepali
Ki Ageng Selo di dalam Serat Chenthini I itu, puisi-puisi Umbu juga
sarat dengan ajaran kehidupan. Lewat puisi-puisinya Umbu mengajarkan
tentang hakekat kehidupan, tentang kesederhanaan, kesahajaan, tentang
kecintaan kepada alam, desa, tradisi, saling berbagi, kebersamaan,
juga cinta-kasih.
Cobalah simak, salah satu puisi Umbu yang berjudul “Apa Ada Angin
di Jakarta” ini. Pada salah satu puisi yang termasuk dalam beberapa
puisinya yang semasa di Yogya dulu (tahun 70-an) sering di’poetry
singing’kan bersama Deded ER Moerad (alm) dan teman-teman PSK
(Persada Studi Klub) ini terlihat jelas, betapa di dalamnya sarat
ajakan tentang perlunya kesederhanaan, kesahajaan, dan kecintaan
terhadap alam (desa).
Apa Ada Angin di Jakarta
Apa ada angin di Jakarta
Seperti dilepas desa Melati
Apa cintaku bisa lagi cari
Akar bukit Wonosari
Yang diam di dasar jiwaku
Terlontar jauh ke sudut kota
Kenangkanlah jua yang celaka
Orang usiran kota raya
Pulanglah ke desa
Membangun esok hari
Kembali ke huma berhati
Idealisme apa yang diajarkan Umbu Landu Paranggi melalui puisi yang
lirik-liriknya penuh makna ini? Sangatlah jelas, Umbu mengingatkan
agar kita tidak mudah tergoda dengan daya tarik semu kehidupan di
kota-kota besar, seperti halnya Jakarta. Umbu mengingatkan, hidup di
desa jauh lebih damai, nyaman dan penuh arti. “Pulanglah ke desa –
membangun esok hari – kembali ke huma berhati”, menurut Umbu jauh
lebih menyenangkan daripada hidup di kota yang tak jarang justru
menjerumuskan ke kehidupan sulit dan pahit.
Mari simak satu lagi puisi Umbu Landu Paranggi yang juga penuh ajaran
kehidupan itu. Puisi berjudul “Doa” ini juga termasuk yang di
tahun 70-an itu sering di’poetry singing’kan.
Doa
sunyi
bekerjalah
kau
bagi
nyawaku
risau
sunyi bekerjalah
kau bagi
nyawaku risau
sunyi bekerjalah kau
bagi nyawaku risau
sunyi bekerjalah kau bagi nyawaku
risau
risau nyawaku bagi kau bekerjalah
sunyi
risau nyawaku bagi
kau bekerjalah sunyi
risau nyawaku
bagi kau
bekerjalah sunyi
risau
nyawaku
bagi
kau
bekerjalah
sunyi
Kauku
Puisi
ini sesungguhnya mengandung ajaran kehidupan, bahwa sesibuk apapun,
segelisah apapun, manusia tetap harus berupaya sekuat mungkin untuk
‘mensunyikan diri’, ‘mensunyikan jiwa’ dan mendekatkan
dirinya kepada Sang Maha Pencipta. Karena hanya kepada Sang Maha
itulah tempat menyerahkan risau, menyerahkan sunyi, dan kelak tempat
mengadu di hari akhir.
Saya
ingat, di antara beberapa puisi Umbu yang di’poetry singing’kan
semasa di Yogya dulu, puisi “Apa Ada Angin di Jakarta”, “Doa”
dan “Sabana” itulah yang senantiasa menggoda dan sangat berkesan.
Puisi
adalah nyanyian hati. Puisi adalah simponi kehidupan. Dan, simponi
melalui puisi-puisi Umbu Landu Paranggi yang sarat idealisme, penuh
ajaran kehidupan itu, sampai hari ini terus bersenandung di dalam
jiwa saya. Saya yakin, juga bersenandung di banyak jiwa, yang
mengenal dan memahami Umbu, membaca karya-karya puisinya serta
mendengarkan lagu puisinya.
(Sutirman Eka Ardhana)
***** Salah satu tulisan saya yang dimuat Majalah Sabana edisi Februari 2015.