Makna dan Filosofi di Balik Erotisme Tayub
STIGMA mesum sudah terlanjur diberikan
oleh sejumlah pihak kepada tarian Tayub. Padahal Tayub merupakan salah satu
bentuk kesenian atau tarian rakyat yang masih sangat dikenal di wilayah Daerah
Istimewa Yogyakarta, Jawa Tengah dan Jawa Timur hingga hari ini. Stigma itu
muncul, karena erotisme yang ditampilkan para penari Tayub atau dikenal dengan
sebutan ledhek tersebut dinilai telah mengeksploitasi seks dan
mengundang birahi. Benarkah demikian?
Kesan adanya erotisme pada tarian Tayub memang sesuatu yang tak bisa
disangkal. Kesan itu terlihat jelas dari lengang-lenggok dan goyangan tubuh
yang enerjik sang penari atau ledhek manakala sedang menari Tayub.
Erotisme seperti itu selintas memang terkesan menggoda, menggairahkan, bahkan
tak jarang ditafsirkan sebagai upaya
mengundang birahi, terutama bagi para lelaki yang ingin menjadi penayubnya.
Kesan mengundang birahi itu akan semakin bertambah lagi, ketika sang penari tak
henti-hentinya melempar senyum dan kerling mata yang seakan menggoda.
Sekelam itukah tarian Tayub? Serendah itulah nilai-nilai seni yang ada
pada Tayub? Seburuk itukah citra dan imejnya? Bila kita ingin memandang dan
menilainya dengan jujur serta tanpa prasangka moral yang berlebihan,
sesungguhnya di balik erotisme Tayub terkandung makna dan nilai-nilai filosofi.
Padahal Tayub yang kini oleh sementara pihak dipandang dengan penuh
curiga dan cibiran, serta dituduh penuh kemesuman itu, pada sekitar abad XV
pernah berjasa bagi syiar agama Islam di kawasan pesisir utara Jawa. Abdul
Guyer Bilahi, seorang tokoh da’i atau pendakwah di masa itu, mengembangkan
syiar Islam di pesisir utara Jawa dengan menggunakan kesenian Tayub. Tarian
Tayub sebagai bentuk kesenian rakyat yang populer di kala itu, dipakai sebagai
media untuk memberikan pemahaman serta pengetahuan tentangt kebesaran Islam.
Dibuka dengan Shalawat
Erotisme Tayub yang selalu menjadi titik perhatian masyarakat penonton
itu, serta alunan gamelan dan dentangan kendangnya dimanfaatkan sebagai media
untuk mengundang warga atau masyarakat datang menonton. Masyarakat yang sudah
tertarik perhatiannya terhadap Tayub, akan selalu datang lebih awal sebelum
pergelaran tarian itu dimulai. Ketika warga masyarakat sudah banyak berkumpul
itulah, dakwah Islam dimulai.
Sebelum pergelaran Tayub dimulai, acara diawali terlebih dulu dengan lantunan
shalawat dan dzikir sebagai penghormatan serta penganggungan asma Allah.
Sehingga ketika itu terjadi perpaduan antara Tayub sebagai bentuk kesenian
rakyat dengan penyampaian syiar atau dakwah Islam kepada masyarakat. Jadi dalam
satu acara atau perhelatan, masyarakat di samping mendapat hiburan secara
jasmani juga akan mendapat siraman rohani yang mengukuhkan keyakinan mereka
terhadap Islam.
Menyatukan budaya atau seni tradisi rakyat yang sudah ada dengan syiar
dan dakwah Islam, memang merupakan cara-cara yang banyak dipakai para penyebar
Islam di Jawa masa itu. Sebelumnya, Wali Sanga yang terkenal di Jawa itu
misalnya, telah menggunakan media wayang kulit sebagai media syiar dan dakwah
Islam. Menggunakan bentuk-bentuk budaya atau seni tradisi rakyat sebagai nedia
syiar dan dakwah ternyata memang membawa keberhasilan dalam penyebaran di masa
itu.
Dalam pemahaman tasawuf Islam Jawa, tarian Tayub dan erotisme goyangannya
itu mengandung nilai-nilai filosofis yang tinggi. Tarian Tayub dinilai
merupakan cerminan atau gambaran dari keberadaan jati diri manusia dengan
unsure-unsur keempat nafsu yang melingkupi kehidupannya. Kemudian kebaradaan
penari perempuan atau ledhek pada tarian Tayub, digambarkan sebagai
gambaran dari tujuan untuk mencapai keselarasan dan keseimbangan hidup.
Pada awalnya dulu, dalam pergelaran tarian Tayub itu selain ada
penari-penari perempuan atau ledhek juga terdapat lima penari lelaki atau penayub. Salah
seorang dari penayub itu berposisi sebagai tokoh sentral yang digambarkan dalam
pemahaman tasawuf Jawa itu sebagai keberadaan mulhimah. Sedang empat
penayub lainnya digambarkan sebagai cerminan dari empat unsur nafsu yang ada
pada diri manusia, yaitu aluamah, amarah, sufiah dan mutmainah.
Tarian Tayub dengan para penari perempuan dan kelima lelaki penayubnya
itu merupakan gambaran dari perjuangan atau perjalanan manusia dalam meraih
cita-cita dan keberhasilan. Bila ingin berhasil untuk meraih tujuan yang mulia,
maka manusia harus mampu mengendalikan unsur-unsur nafsu yang ada dalam dirinya
terlebih dulu. Keberadaan para ledhek itu merupakan gambaran dari bentuk
ujian yang akan menggoda keempat unsur-unsur nafsu tersebut. Jika berhasil
mengalahkan unsur-unsur nafsu, maka manusia akan lulus dalam meraih tujuan
hidupnya.
Dan, yang masih terjadi hingga hari ini, pada tarian Tayub itu ada
tradisi pemberian suwelan. Suwelan adalah bentuk pemberian uang oleh penayub
kepada penari perempuan (ledhek) atau di kawasan Jawa Timur disebut
dengan waranggana. Suwelan itu diberikan oleh lelaki penayub setelah selesai
menayub atau ngibing. Suwelan itu sebenarnya wujud atau bentuk dari
ucapan terima kasih karena telah bersedia menayub bersamanya. (Sutirman
Eka Ardhana)